Minggu, 25 September 2011

RELASI ISLAM DAN NEGARA DALAM POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Era Kemerdekaan-Dekrit Presiden 1959)

Oleh: Moh. Ridhoi/SIAI-PPs. UIN Malang

PENDAHULUAN

Inti dari masalah politik adalah kebangkitan islam pada masa lalu sangat besar andilnya dalam menumbuhkan kesadaran kolektif umat islam, yaitu apa yang dimaksud oleh Karl Deutsch disebut “mobilisasi sosial” mereka. Keterbatasan yang secara inheren ada dalam proses ini tidak muncul terutama dari persoalan bagaimana membawa kesadaran kolektif umat islam ke dalam loyalitas nasional, atau dari upaya-upaya yang tidak realistis untuk menrapkan ajaran syareah yang rinci. Melainkan keterbatasan-keterbatasan itu muncul dari kekuatan veto yang diterapkan terhadap seluruh wilayah ideology dan tindakan politik. Hal ini tentu saja seluruhnya jelek. Ia berfungsi sebagai penghalang bagi kecenderungan totalitarian. Tetapi juga berkaitan dengan kecendrungan di banyak wilayah islam untuk mendasarkan diri kepada apa yang oleh soedjatmoko disedut “bayang-bayang nyata” (virtual image), rumusan-rumusan retoris program-program reformasi politik yang serius dan menyeluruh.[1]
Berhadapan dengan kekuasaan dan negara, politik islam di Indonesia sering berada pada posisi dilematis antara tarik menarik tuntutan aktualisasi diri secara determinan sebagaikelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik (realpolitics) yang tidak kondusif. Sebagai akibatnya, politik islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategi yang masing-masing memiliki konskuensi dalam dirinya. Pertama, strategi akomodatif-justifikasi terhadap kekuasaan yang sering tidak mencerminkan idealitas Islam, dengan konsekuensi menerima hujatan dari kalangan garis keras umat islam. Kedua,strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatan sendiri, dengan konsekuensi kehilangan factor pendukung, yaitu kekuatan negara yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan orang lain. Ketiga, strategi integrative-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, namun tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam satu perjuangan dari dalam. Namun strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangan akan dipertanyakan.[2]
Sejarah Islam di Indonesia sendiri memang mengalami keterputusan, baik karena kolonialisme, letak geografis, divergensi budaya, maupun pasang surut suatu rezim pemerintahan, misalnya, bangsa Indonesia baru mengenal tradisi musyawarah atau pemungutan suara pada 1918 melalui Volskraad. Lalu dilanjutkan dengan Cuo Sangi In pada zaman pendudukan Jepang, dan setelah itu baru kenal pemilu pada 1995. Secara kategoris dan empirik, kita juga mengenal tiga sistem demokrasi, yakni demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Tentu saja dengan keberhasilan dan kegagalannya masing-masing. Pada era demokrasi parlementer, negara mencoba menyempurnakan konstitusi, menyelenggarakan pemilihan umum, dan mengembangkan kehidupan partai politik.

A.    PIAGAM JAKARTA ANTARA ISLAM DAN NEGARA
Tiga versi hari lahir Pancasila: 29 Mei, 1 Juni ataukah 22 Juni
Untuk mendapatkan gambaran dari ketiga versi sejarah yang melatar belakangi lahirnya pancasila maka berikut saya kutipkan beberapan moment penting dan bersejarah yang kemudian melahirkan pancasila.
Pada Sidang I BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945) tepatnya pada hari pertama tanggal 29 Mei 1945, Prof Dr. Mohammad Yamin berpidato menyampaikan rumusannya tentang dasar negara sebagai berikut :
1.   Peri Kebangsaan
2.   Peri Kemanusiaan
3.   Peri Ketuhanan
4.   Peri Kerakyatan
5.   Peri Kesejahteraan Rakyat [3]

Di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara, dan jika kita perhatikan hampir mirip dengan bunyi pancasila yang kita kenal selama ini, hanya saja terjadi pertukaran urutan pada butir ke-2 dan ke-3. Selanjutnya pada hari ketiga tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno Berpidato menyampaikan lima hal untuk menjadi dasar-dasar negara yaitu :
1.   Kebangsaan Indonesia
2.   Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.   Mufakat atau Demokrasi
4.   Kesejahteraan Sosial
5.   Ketuhanan[4]

Walaupun ketuhanan merupakan dasar negara, namun tampaknya ketuhanan yang dimaksud Soekarno bukanlah ketuhanan dalam konsep Islam. Ia hanya menganjurkan agar seluruh warga Indonesia berketuhanan, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing, serta saling menghormati satu sama lain.[5] Kemiripan antara dua usulan yang disebutkan di atas, satu disebutkan oleh Muhammad Yamin dan yang lain oleh Soekarno, dikemudian hari menimbulkan kesulitan untuk menetapkan siapa pencipta yang sebenarnya dari kelima prinsip yang kemudian disebut Pancasila. Banyak penulis Indonesia tentang Pancasila menjelaskan bahwa baik Muhammad Yamin maupun Soekarno (bersama Soepomo, seorang pembicara yang lain dalam sidang BPUPKI), telah sama-sama memberi sumbangan dalam penciptaan Pancasila.[6]
Sidang I BPUPKI melahirkan sejumlah rekomendasi penting diantaranya Pembentukan Panitia Kecil (Tim Sembilan) yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dalam sembilan tokoh tersebut mewakili dua kelompok yaitu kelompok Nasionalis-Sekuler (Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, A. A. Maramis dan Muhammad Yamin) dan Nasionalis-Muslim (Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso dan Abdul Wahid Hasjim). Penting dicatat bahwa A.A. Maramis adalah satu-satunya orang Kristen dalam kelompok Nasionalis-Sekuler, sementara lainnya Muslim. Panitia kecil ini menyusun Rancangan Pembukaan UUD 1945 yang termaktub juga didalamnya rumusan dasar Negara dan pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyusun Rancangan Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat rumusan Sistematika Pancasila. Para wakil dari kedua kelompok ini berdebat, kelompok Nasionalis-sekuler melalui pernyataan wakilnya Hatta dan Supomo, mengusulkan dibentuknya sebuah Negara kesatuan nasional dimana masalah-masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama. Selain mendasarkan argument mereka kepada kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan tegas dan utuh mengenai hubungan agama dan negara. Mereka juga mengingatkan bahwa Indonesia, dilihat dari agama yang dianut para penduduknya, bukanlah negara yang homogen.[7]
Dalam pandangan Supomo, “Jika sebuah negara Islam dibentuk di Indonesia, maka dapat dipastikan akan muncul masalah kelompok-kelompok minoritas, masalah kelompok-kelompok keagamaan yang kecil, maslah Kristen dan lain-lain”. Ia percaya bahwa negara islam “sebaik mungkin akan melindungi kepentingan kelompok-kelompok lain.” Meskipun demikian, ia juga sama yakinya bahwa dalam negara demikian itu, “kelompok-kelompok keagamaan yang lebih kecil itu tentunya akan merasa tidak terlibat di dalam negara.”[8]
Kelompok Nasionalis-Muslim mempertahankan posisi awal mereka dengan menyatakan bahwa rumusan itu tidak cukup kuat untuk “menempatkan negara dalam posisi tidak seimbang di bawah Islam.” Untuk alas an itu, Wahid Hasjim menegaskan bahwa “hanya orang-orang Islam yang dapat dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara republic ini”. Lebih jauh juga menegaskan bahwa Islam harus diterima sebagai agama negara. Sementara itu, seraya mendorong lebih kuat diterimanya gagasan negara Islam, Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, menuntut agar mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta tanpa prasyarat bahwa keharusan itu hanya berlaku bagi umat Islam.[9]
Perdebatan-perdebatan di atas baru mereda ketika Soekarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban demi persatuan bangsa. BPUPKI “bersepakat” bahwa masa depan Indonesia merdeka akan didasarkan kepada sila “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Selain itu pula, mereka “menerima” Islam sebagai agama Negara, dan bahwa presiden Republik Indonesia harus seseorang yang berasal dari umat Islam.[10] Selanjutnya terjadi kompromi politik bersejarah, atau kesepakatan yang jantan, dalam bentuk yang kemudian oleh Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Berikut ini adalah rumusan dan sistematika Pancasila versi PIAGAM JAKARTA:
1.   Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.   Persatuan Indonesia
4.   Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5.   Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia[11]

Naskah Piagam Jakarta
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.[12]

Djakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin
Kompromi Kekuatan Nasionalis dan Kekuatan Islam tercapai dengan ditandatanganinya rumusan PIAGAM JAKARTA pada tanggal 22 Juni 1945 yang disebut oleh Golongan Islamis sebagai Gentlement Agreement. Segera tampak dipermukaan bahwa kompromi dibangun di atas landasan yang tidak kokoh, masih ada beberapa kalangan yang tidak puas sehingga menggunakan manuver politik untuk membatalkan secara ekstem atau menggubah piagam jakarta, akhirnya pada tanggal 18 Agustus tercapai kompromi politik antara golongan nasionalis dan golongan islamis dengan dicoretnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

B.     PEMBATALAN KALIMAT ISLAMI DAN REAKSI UMAT ISLAM
a.      Penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta
Piagam Jakarta ini digunakan sebagai dasar negara indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 namun pada keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 terjadi peristiwa kontroversial yang berbuah pada pencoretan 7 kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), Sila pertama kemudian mengalami revisi sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia.[13]
Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Hatta menusulkan pengubahan rancangan pembukaan UUD dan isinya, karena Muhammad Hatta menerima keberatan yang keras atas kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya” dari orang-orang Katholik dan Protestan yang hidup di wilayah Indonesia bagian timur. Sementara kalangan Katholik dan Protestan mengakui bahwa kalimat semacam itu hanya diterapkan bagi umat islam, mereka menganggapnya sebagai diskriminasi terhadap semua kelompok minoritas. [14] Muhammad Hatta mengaku telah didatangi oleh opsir angkatan laut Jepang yang mengatakan bahwa bagian timur Indonesi mengancam untuk memisahkan diri dari Republik apabila kalimat islamis tersebut tetap dipertahankan dan lebih senang berdiri sendiri sebagai suatu Negara yang berdaulat.[15]
Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh sejarawan Anhar Gonggong bahwa Kata Pancasila itu adalah monopoli Bung Karno. Dalam arti kata, dialah orang pertama yang merumuskannya. Hanya saja oleh karena kompromi politik, maka begitu selesai bicara tanggal 1 Juni kekuatan BPUPKI terbelah menjadi kekuatan nasionalis mendukung Pancasila, kekuatan Islam yang mendukung Islam sebagai dasar negara.
Para pendiri republik ini dipaksa untuk kembali melakukan tugas melelahkan dalam rangka memodifikasi dasar ideology dan konstusi negara. Dalam upaya ini, Hatta menyarankan agar dibuat penyesuaian-penyesuaian tertentu untuk menjamin kesatuan negara nasional Indonesia. Didasari dorongan dan desakan Hatta, kelompok Islam (diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan), bersepakat menghapus unsur-unsur legalisti/formalistic Islam, terutama pencabutan “butir-butir mengenai Islam sebagai agama negara, persyaratan presiden harus Muslim dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” sementara itu sebagai gantinya, unsur monoteistik dimasukkan ke dalam sila pertama dalam Pancasila. Dengan demikian sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Mahaesa.”[16]
Abdurrahman Wahid menganggap Pancasila sebagai kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional non-Islam. Ia melihat ada sejumlah ancaman terhadap konsepsinya mengenai Pancasila sebagai dasar bagi civil society yang demokratis, baik yang dating dari dalam komunitas islam sendiri maupun dari kalangan TNI.[17]

b.      Masyumi : Wahana Perjuangan Politik Islam
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat islam di alam kemerdekaan. Didorong oleh rasa optimisme karena jumlah konstituen yang besar, para tokoh Islam percaya bahwa lewat pemilihan umum, yang akan diselenggarakan dalam waktu tidak lama lagi, mereka masih mempunyai kesempatan untuk secara konstitusional menjadikan negara ini negara Islam.[18] Kuatnya semangat persatuan didorong pula oleh eksistensi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dikalim oleh Soekarno sebagai satu-satunya partai dalam Negara baru.[19]
Semua tokoh Islam menganggap yang paling penting adalah persatuan umat islam dalam politik. Maka dipandang sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Sehingga cita-cita Islam dapat direalisasikan setidaknya usaha untuk penegakan syariat Islam dapat terwujud. Harapan mendirikan partai Islam yang tunggal pada awal kemerdekaan terwujud maka partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan Masyumi product Jepang. Masyumi baru berdiri pada 7-8 Nopember 1945 dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Adapun nama Masyumi tetap dipakai semata-mata karena musyawarah bulan itu. Pendukung partai ini dari kalangan umat Muhammaddiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Secara ideologis adalah mengkhususkan perjuangan dibidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain NU dan Muhammaddiyah, hamper seluruh organisasi islam lokal maupun nasional --kecuali Perti-- mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya partai politik umat islam di Indonesia.[20]
Sebagai wakil politik satu-satunya, kelompok islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan tersebut, pada 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa cabinet semasa revolusi) memperkirakan bahwa jika pemilihan umum selenggarakan (disekitar tahun itu), maka Masyumi dengan gabungan dari kalangan kaum Muslim medernis dan ortodoks akan memperoleh 80% suara.[21]
Perkiraan Sjahrir bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Dalam hal ini, Herbert Feit memberi kesaksian, bahwa “dalam pemilihan tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa 1946 dan dalam pemilihan umum yang diamati secara teliti diwilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih banyak disbanding kontestan lain mana pun.” Karenanya, “Masyumi pada umumnya diharapkan tampil sebagai partai terkuat dalam pemilihan umum tingkat nasional,…[22]
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.
Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.
Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Sejarah mencatat, persatuan umat lewat partai politik berlangsung sangat singkat, karena pada tahun 1947, PSII menarik diri dari Masyumi. Penarikan diri PSII ini tidak banyak menimbulkan gejolak di internal partai, karena pengaruh dan basis massa partai itu tidak begitu signifikan. Tapi yang paling mengguncangkan Masyumi justru ketika pada 1952 Nahdlatul Ulama (NU) menarik diri dari struktur Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik yang terpisah dari Masyumi.[23]

c.       NU Menjadi Partai Politik
Tuntutan keadaan mendorong NU yang bergabung dalam Partai Masyumi pada 1945, untuk mengubah ormas NU menjadi Partai NU pada Muktamar 1952. perpecahan politik yang lebih serius dalam tubuh umat terjadi pada saat NU mengikuti jejak PSII meninggalkan Masyumi, dan mengubah dirinya dari Jami’iyyah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri dan mendasarkan langkahnya dalam berpolitik pada kaidah ushul fiqh ahlus sunnah wal jama’ah, sehingga tidak dipahami oleh parpol lain dan dianggap oportunis.
Ada dua alasan golongan tradisionalis NU keluar dari Masyumi; pertama, NU tidak menyetujui perubahan rumusan majelis syura dalam AD/ART Masyumi pada muktamar ke-14 yang menyatakan bahwa kedudukan majelis Syura hanya sekedar badan penasehat, organisasi ini tidak memberikan tempat yang layak kepada ulama. Kedua, berkaitan dengan pembentukan cabinet. Kalangan NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agama jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam Mukatamar ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.[24]
Peristiwa ini menguncangkan Masyumi, karena NU mempunyai pengikut yang cukup besar, terutama di tiga propinsi; Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Tanpa diduga oleh siapapun, NU keluar menjadi pemenang ketiga pemilu 1955 sesudah PNI dan Masyumi, dengan meraih 18,4 persen dari jumlah suara seluruhnya, dan karena ini NU mendapat 45 kursi dalam parlemen. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, NU memperoleh 73,2 persen dari jumlah suara yang diterimanya secara nasional. Sementara di Kalimantan Selatan NU muncul sebagai partai terkuat dan memperoleh 48,6 persen dari jumlah perhitungan suara setempat.[25]
Pada awal 1953, NU mulai mendekati PNI dan partai-partai politik nasionalis lain yang lebih kecil. Dinamika yang berubah dalam tubuh Masyumi dan PNI membuat PNI menjadi semakin menarik bagi NU. Dalam hal kebijakan NU lebih memiliki persamaan dengan PNI daripada Masyumi.[26]
Dalam hasil pemilu memilih anggota parlemen pada pemungutan suara 29 September 1955, Lapunu memperkirakan perolehan kursi di parlemen sebesar 20-40 kursi (ini berarti membutuhkan sebanyak 3,5 juta suara atau 10% total pemilih). Hasil akhir pemungutan suara sangat mengejutkan para pemimpin NU, dimana NU memenangkan hampir 7 juta suara atao 18,4% dari total suara tingkat nasional. Hasil tersebut menempatkan NU sebagai partai ketiga terbesar setelah Masyumi dan PNI. Jumlah wakil NU di MPR melonjak dari 8 menjadi 45, atau naik sebesar 462%. Sedangkan dalam pemilu untuk memelih anggota Majelis Kontituante diadakan 15 Desember 1955, perolehan suara NU ditingkat nasional naik 34,192 atau 0,5% dari hasil Pemilu parlemen. Berarti NU mendapatkan 91 suara.[27]
Pada masa 1957-1959 reaksi NU terhadap Demokrasi terpimpin dan Dekrit Presiden, kurun waktu itu merupakan masa yang menentukan dalam sejarah partai ini, sehubungan dengan pengambilan keputusan atas berbagai isu, seperti keberlajutan demokrasi parlementer, kerjasama dengan PKI, solidaritas dengan Masyumi, serta pembentukan negara Islam.

d.      S.M. Kartosuwiryo dan Negara Islam Indonesia
Sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara. Ketika kontrol terhadap seluruh wilayah Indonesia melorot akibat Aksi Polisionil Belanda yang pertama (1947), Kartosuwirjo menyerukan jihad (perang suci) melawan pasukan belanda. Ia menolak Perjanjian Renville (1948)[28], yang dilangsungkan di kapal Renville milik AS, wilayah RI yang secara de facto dikuasai Belanda harus dikosongkan. Maka tentara RI pun diharuskan hijrah. Tapi tentara yang tidak resmi-seperti Hizbullah-Sabilillah dan lain-lain enggan meninggalkan 'kantong-kantong' Republik itu.
Pebruari 1948, dalam konferensi di Cisayong. Tasikmalaya, ia sebagai salah seorang pemimpin Masyumi Jawa Barat ia memutuskan pembubaran Masyumi di wilayahnya. Kartosuwiryo kurang suka dengan Masyumi.: "Masyumi yang anti perjanjian Linggarjati dan Renville seharusnya jadi oposisi.” Ia juga diangkat oleh kelompoknya itu sebagai Imam Umat Islam Jawa Barat.
Dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Majalengka, Maret 1948, mereka mendesak Pemerintah RI membatalkan perundingan dengan Belanda dan kalau perlu membentuk "Negara Islam Indonesia" kalau negara ala Belanda lahir dan pemerintah RI bubar.
Konferensi ketiga di Cijoho. Tasikmalaya, Mei 1948, memutuskan pembentukan "Negara Islam Indonesia" lengkap dengan susunan Kabinet. Dan lima bulan kemudian diresmikan Qonun Asasi (UUD) yang menentukan "NII" sebagai Jumhuriyah (Republik). Ketika bulan Desember 1948 Belanda menyerbu Yogyakarta. Kartosuwiryo mengumpulkan jihad fi sabilillah kepada Belanda. Dalam Maklumat No. 6 Kartosuwiryo menyatakan bahwa: negara RI telah jatuh, yang akan membuat RI sebagai negara boneka seperti "Negara Pasundan." Hal itu menurut Kartosuwiryo menyebabkan bangkitnya Ummat Islam mengangkat senjata. Ketika Kartosuwiryo tertangkap tahun 1962 (ia masih sempat menyampaikan amanat kepada bekas anak-buahnya untuk meneruskan perjuangan), langsung dijemput oleh Ibrahim Ajie, Pangdam Siliwangi ketika itu.[29]

C.    ISLAM DAN DEMOKRASI PARLEMENTER
Mosi integral Mohammad Natsir dan kawan kawan dalam parlemen, pada 1950 dibentuk Negara kesatuan republik Indonesia di bawah payung UUDS 1950. Menurut UUDS, hidup mati suatu kabinet sepenuhnya ditentukan oleh besar dan kecilnya dukungan yang diperoleh dalam parlementer. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai kepala Negara symbol yang tidak secara langsung memimpin pemerintahan. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri. Peradana Menteri pertama adalah Mohammad Natsir.[30]
Proses sekularisasi partai politik islam di Indonesia dalam rumusan bentuk negara merupakan bentuk nyata sekularisasi itu sendiri. Ada tiga aspek yang bisa jadikan untuk mengidentifikasi sekularisai partai politik islam di Indonesia. Pertama, yakni sekularisasi pada tataran basis legitimasi dengan mengurangi peran-peran ulama. Hal itu ditunjukkan oleh Masyumi saat mengerdilkan dewan syuro yang banyak dihuni oleh kiai NU. Selanjutnya dapat dilihat dalam tubuh PSII yang tidak memiliki lembaga khusus yang menampung suara ulama.
Kedua, sekularisasi identitas kelompok yang merupakan jalan pembangunan identitas baru dalam partai politik islam. Pembangunan identitas itu ditegaskan dengan penyebutan istilah partai islam tradisionalis-lokal (PNU, Perti), kosmopolit-modernis serta modernis-konservatif.
Ketiga, sekularisasi sebagai pragmatisasi sebagai akibat dari liberalisme politik selama era demokrasi parlementer. Sikap pragmatis tersebut seringkali diterapkan melalui visi dan ideologinya.  Partai islam kecil seperti Perti dan PSII karena tuntutan perluasan pengaruh akhirnya lebih menjadi petualang politik sehingga harus kompromi dengan PKI yang jelas secara ideologi berbeda.
Menyikapi hal di atas NU bersimpangan jalan dengan Sukarno ketika dia tampak bekerja sama terlalu dekat dengan komunis. Pada tahun 1957, ketika Soekarno mengumumkan konsepsinya –usulan alternatif bagi demokrasi liberal dan pemerintahan berdasarkan partai, yang dua tahun kemudian dipraktikkan dalam Demokrasi Terpimpin- NU segera menambahkan suaranya ke Masyumi dan PSII dalam menolak konsepsi ini. NU menolak keras terutama terhadap gagasan kabinet gotong royong, sebuah pemerintahan di mana semua partai, termasuk partai komunis, harus terwakili. Dalam perdebatan di parlemen pada tahun 1959 tentang dasar ideologis negara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar (Islam versus Pancasila), NU juga berada di pihak Masyumi yang berhadapan dengan Soekarno, PNI, dan PKI.[31]

D.    DEKRIT PRESIDEN 1959 DAN STATUS PIAGAM JAKARTA
Perdebatan dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan sengit. Inilah sidang yang memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai dengan 1959.Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara. Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.[32]
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka kembali ke UUD 1945, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya. Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.[33] Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:

DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN  PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG
SOEKARNO.[34]

Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan. Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya.
Konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara pendukung Pancasila dan Islam. Konsideran tersebut mempunyai makna konstitusional, meskipun implisit, namun gagasan melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, disamping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris.”[35]
Sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut: Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.[36]

PENUTUP

Ada dua hal yang menyebabkan “memperjuangkan kembali piagam Jakarta” kandas. Pertama, adanya Islamofobia yang melekat kuat kalangan elit nasional yang pada umumnya didikan Belanda. Kedua, adanya pemahaman yang kurang tepat tentang apa itu syariat Islam. Pengertian syariat dibatasi pada ketentuan hukum yang berisi perintah dan larangan semata. Lebih parah lagi ketika diembuskan hukum Islam sebagai hukum rajam, potong tangan dan sebagainya.[37]
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah memiliki tiga UUD sementara, yaitu UUD 1945 (berlaku dari 1945-1949), UUD 1949 (berlaku Nopember 1949-Agustus 1950), UUD 1950 (berlaku 1950-1959). Dengan Dekrit 5 Juli 1959, UUD 1945 berlaku kembali dan dinyatakan sebagi UUD permanent. Dalam UUD itu, Pancasila menjadi dasar ideologi negara, sekalipun misalnya dalam Pembukaan UUD 1945 perkataan Pancasila tidak dijumpai.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka dasar Islam yang diusulkan dengan sendirinya tertolak melalui sebuah dekrit, bukan melalui musyawarah yang demokratis. Seperti telah disinggung di atas, Majelis Konstituante sampai dengan sidangnya pada tanggal 22 juni 1959 tidak berhasil mencapai kata sepakat tentang dasar negara : Pancasila atau Islam.[38]

 DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen. Martin van, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS,cet. VII, 2009)

Effendy. Bahtiar, Islam dan Negara; Tarnsformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)

 Fealy Greg, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, cet.IV 2009)

Fealy. Greg-Greg Barton, Tradisionalisme Radikal; persinggungan Nahdlatu Ulama – Negara, (Jakarta: LKis, 2010)

Ismail. Dr. Faisal, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999)

Jurdi. Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Ma’arif. Dr. Ahmad Syafi’I, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

-------, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985)

Maarif. Ahmad Syafii, et.al, Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001)

Noer. Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional : Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, (Bandung: Mizan, cet. II 2000)

Romli. Lili, Islam Yes Partai Islam Yes, sejarah perkembangan partai-partai Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Syamsuddin. Din, Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia, dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002)

Yatim. DR. Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)


[1] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Tarnsformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 59
[2] Din Syamsuddin, Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia, dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), hal. 25
[3] Dr. Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), hal. 20
[4] DR. Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 160
[5] Ibid
[6] Ibid, Dr. Faisal Ismail
[7] Bahtiar Effendy, hal. 87
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid, Dr. Faisal Ismail, hal 46
[12] http://swaramuslim.net/galery/more.php? (di akses tanggal 31 Mei 2010)
[13]http://bedah-tabloid-suara-islam.blogspot.com/2009/08/suara-islam-peristiwa-18-agustus-1945 (di akses tanggal 31 Mei 2010)
[14] Ibid, Dr. Faisal Ismail, hal 49
[15] Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 164
[16] Ibid, Bahtiar Effendy, hal. 90
[17] Greg Fealy, Greg Barton, Tradisionalisme Radikal; persinggungan Nahdlatu Ulama – Negara, (Jakarta: LKis, 2010), hal. 286
[18] Ibid, Bahtiar Effendy, hal. 91
[19] Ibid, Syarifuddin Jurdi, hal. 166
[20] Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 32
[21] Ibid, Bahtiar Effendy, hal. 93
[22] Ibid
[23] Ibid, Syarifuddin Juhri, hal. 168
[24] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional : Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, (Bandung: Mizan, cet. II 2000),  hal 92
[25] Ahmad Syafii Maarif, hal 116
[26] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, cet.IV 2009) hal. 148
[27] Greg Fealy, hal. 207-209
[28] Bahtiar Effendy, hal. 97
[29] http.//www.indonesiacommunity.multiply.com/journal/item/sejarah_mujahid_kartosuwirjo_ dan_DIITII_Negara_Islam_Indonesia, (di akses tanggal 31 Mei 2010)
[30] Ahmad Syafi’I Ma’arif, hal. 40
[31] Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS,cet. VII, 2009) hal. 63
[32] Ahmad Syafi’i Ma’arif , Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985), hal. 179
[33] Ibid, hal. 180
[34] Ahmad Syafi’i Ma’arif , hal. 178, yang dikutip dari buku Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 2 jilid (Jakarta: Panitia penerbit di bawah bendera revolusi, 1964), 2: 358-359
[35] Ibid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, hal. 176
[36] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes, sejarah perkembangan partai-partai Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 172. dikutip dari tulisan Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.” (yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 125
[37] A. Syafii Maarif, et.al, Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 34
[38] Ibid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, hal. 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar