Selasa, 20 September 2011

MAQAMAT,HAL,MAHABBAH

BAB 1
PENDAHULUAN


Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik.Pada umumnya isi maqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.

Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang,menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
1. Apa saja maqam atau tangga yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah,swt?
2. Apakah kriteria sufi yang dianugerahi hal oleh Allah,swt?
3. Bagaimana cara mengungkapkan cinta kepada Allah,swt?

BAB II
PEMBAHASAN

MAQAMAT
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenai jumlah tangga yang harus ditempuh sufi,ada beberapa pendapat:
1. Menurut muhamma al kabarazy
Ada sepuluh tangga:taubah,zuhud,sabar,tawadhu,takwa,tawakkal,mahabbah,ma’rifah,dan ridha
2. Menurut abu nasr al sirraj al tusi
Ada tujuh tangga:taubah,al wara’,al zuhud,al tawakkal,al mahabbah,al ma’rifah,al ridha
3. Imam al ghazali
Ada delapan tangga:al taubah,al shabr,al zuhud,al tawakkal,al mahabbah,al ma’rifah,al ridha.

Maqamat yang disepakati ada tujuh:
• Tobat

Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan.sedangkan pada tingkat menengah,disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat yang menyangkut usaha pada tingkat terakhir, tobat berarti peneyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adala penolakan terhadap segala sesuatu selain dapat yang memalingkan dari jalan Allah.

• Zuhud

Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman diakhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. ketiga, (tertinggi) mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memendang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.



• Faqr(fakir)

Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan didunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat kepada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah

• Sabar

dipandang sebagai pengekangan tuntunan nafsu dan amarah, dianamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an- nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangaaat dibutuhkan dalam berbagai aspek

• Syukur

Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki didunia adalah berkat karunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

• Tawakkal

Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini Al-Ghazalimengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.

• Ridha

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmahdan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan keMahasepurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini.







HAL

Menurut para sufi al-ahwal (jamak dari hal, inggris: state) adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan hasil usahanya. Datangnya kondisi mental itu tidak menentu, kadang datang dan perginya berlangsung sangat cepat. Menurut al-Qusyairi, hal itu selalu bergerak naik setingkat demi setingkat sampai ketitik kulminasi yaitu puncak kesempurnaan rohani. Akan tetapi apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut halsebenarnya adalah merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui. Dengan kata lain, bahwa kondisi mental yang diperoleh itu adalah sebagai hasil dari amalan yang ia lakukan.
Sebenarnya maqam dan hal adalah dua aspek yang saling terkait. Makin tinggi maqam yang dicapai seseorang makin tinggi pula hal yang ia peroleh. Kalau maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang deapat dilihat dari laku perbuatan seorag, maka hal adalah kondisi mental yang sifatnya abstrak. Ia tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Diantara sekian banyak nama dan sifat hal yang terpenting dan biasa disebut oleh para sufi antara lain:

1. Khauf (Al Khauf)
Khauf (takut) menurut para ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah kerena khawatir kurang sempurnanya pengabdian. Dalam bukunya (Kuliah Akhlaq) Yunahar Ilyas mendefisikanya sebagai kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Definisi ini sepertinya mengacu pada iImam al-Ghazali yang membagi khauf kepada dua macam
1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat dan
2. khauf kepada siksaan sebagai konsekuensi perbuatan kemaksiatan. Oleh karena adanya perasaan seperti itu maka seorang sufi selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatanya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.

2. Raja’ (Al Raja’)
Kata ini berarti satu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahiyang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shalih. Karena ia yakin bahwa Allah itu Mah Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Alah SWT.

3. Syauq (Asy Syauq)
Syauq atau rindu adalah dampak dari sikap mahabbah, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.




4. Uns (Al Unsu)
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada satu titik sentrum yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah SWT. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang ingatan terhadap alam sekitar. Uns (intim) adalahg sifat selalu berteman, tidak pernah merasa sepi.

5. Yaqin (Al Yaqin)
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Selanjutnya dalam terminologi para sufi kita mengenal istilah ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin ialah suatu keyakinan yang telah diperoleh manusia yang merupakan hasil akal fikiranya dalam memikirkan dan memperhatikan bukti dan dalil. ‘Ain al-yaqin ialah keyakinan yang kuat yang diperoleh seseorang dengan perantaran kasyf dan limpahan karunia Allah. SedangkanHaqq al-yaqin ialah keyakinan yang diperoleh seseorang setelah menyaksikan dengan mata kepalanya atau mata hatinya

MAHABBAH

Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
yang senantiasa kuikuti ke mana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku”
(Ibnu Arabi 1165-1240 M)

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam.
Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaitu cinta lawan dari benci.
Al-Mahabbah dapat berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Cinta yang dimaksud adalah cinta pada Tuhan.
Dari sekian banyak arti mahabbah diatas, arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhaniah pada Tuhan.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah mencintai yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapat sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
 Dasar syara’
 Dalil-dalil alqur’an
• Al-baqarah 165

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).


• Al-maidah 54



Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu[49]. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
• Ali imran 31

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 Hadis Rasulullah,saw
• Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka
• Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan
• Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia

 Dasar filosofis
 Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia
 Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
 Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

Alat untuk mencapai wahabbah

Para ahli tasawuf berpendapat bahwa manusia dapat mencapai mahabbah dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir(سرّ) . mengutip pendapat Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb (القلب) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (الروح) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir(سر) yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Allah adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.

Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah

Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah. Ia lahir di Basrah, Irak pada tahun 714 M. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai do’a yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.Ia pun selalu menolak lamaran pria-pria salih.
Rabi’ah ialah seorang mistik yang paling terkemuka yang mengajarkan kasih sayang terhadap Tuhan tanpa pamrih. Konsepnya yang kemudian meluas:”Aku mengabdi pada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apapun, jangan takut pada neraka, jangan mendambakan surga, aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi, aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja.”
Banyak keajaiban dihubungkan dengan Rabi’ah. Rabi’ah mendapatkan makanan dari tamu-tamunya melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan pada waktu Rabi’ah menghadapi maut, ia meminta teman-teman meninggalkannya, dan ia menyilahkan pada para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabi’ah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab, “sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya.”

DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1.Makna cinta di kalangan sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2.Cinta abadi adalah cinta kepada Allah
Cinta kepada Allah maksudnya cinta kepada hakikat Allah dan kepada ciptaan Allah..Cinta yang terkelola dengan baik adalah ibadah,jika cinta kepada ciptaanNYA melebihi cinta kepadaNYA maka cinta itu akan kontradiksi.
Cinta melebihi cinta kepada ALLAH yang telah menjadi sebuah kultural sudah bias dipastikan cinta itu jauh dari Allah,otomatis mendekati maksiat dan berujung menjadi syirik.


3.Mahabbah:antara maqam dan hal
maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya,Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati,jiwa dan tidak statis
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
4.Tingkatan cinta
Menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
1.cinta orang-orang awam.
Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
2. cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq.
Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi)
3.cinta orang-orang shiddiq dan arif.
Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.Beberapa sufi memiliki perbedaan pandangan terhadap jumlah tangga yang harus dilalui untuk berada di dekat Allah
3.Hal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan hasil usahanya yang bersifat statis. Datangnya kondisi mental itu tidak menentu, kadang datang dan perginya berlangsung sangat cepat
4. Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa.
5. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
6. ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional

Saran
Demikianlah yang dapat kami bahas dalam makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua dalam mendekatkan diri kepada Allah,swt.Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan,kami membutuhkan masukan,kritik,dan saran dari saudara semua untuk perubahan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin,Mpd.materi kuliah akhlak tasawuf jurusan akuntansi fakultas ekonomi dan bisnis UIN syarif hidayatullah Jakarta.Jakarta:2009

http://romipermadi.blogspot.com/2011/01/ketika-cinta-difilosofikan.html


Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawauf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI, 1999

Said, Usman dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1983.

Jumantoro, Totok. Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Wonosobo, 2005
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006
Arberry, Arthur John. The Doctrine of the Sufis, SH Muhammad Ashraf, Lahore, 1966
Al Arabi, Ibn. (Translated : William C. Chittick and James W. Morris) The Meccan Revelation, Pir Press, Newyork, 2002.

Zainul Bahri Media, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005.

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Tidak ada komentar:

Posting Komentar