Selasa, 20 September 2011

makrifat,al fana,al baqa,al ittihad

A.MAKRIFAH

APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MAKRIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KERANA ALLAH S.W.T TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA KEPADA KAMU.

Ma'rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara berjenjang, secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu ma'rifat dianggap sebagai orang yang 'arif', karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini.
Menurut bahasa, kata ma'rifat berarti mengetahui atau mengenal. Pengertian tersebut bisa diperluas lagi menjadi: cara mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa mahluq-mahluq ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT. Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada satu mahluq pun walau sekecil atau sebesar apapun, yang ada dengan sendirinya. Semuanya itu pasti ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala mahluq tersebut kalau bukan Allah?
Menurut seorang ahli ma'rifat terkenal Al-Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma'rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rosululloh SAW (Al-Hadits).
c. Berserah diri kepada Allah dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.
d. Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Alloh dan kelak pasti akan kembali kepada-Nya.

Adapun menurut Imam Al-Ghozali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya 'Ulumudin, disitu disebutkan bahwa ada empat hal yang harus dikenal dan dipelajari oleh seseorang yang berma'rifat kepada Allah. Keempat hal tersebut adalah:
1.Mengenal siapa dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya.
3. Mengenal Dunianya.
4. Mengenal Akheratnya.

Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Nur Sir dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahawa Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia mahu ditemui dan dikenali. Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah s.w.t. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah s.w.t. Allah s.w.t hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat bahawa tidak ada jalan yang terhulur kepada gerbang makrifat merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu pergi lebih jauh dari itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahawa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah s.w.t maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t.

Dalam perjalanan mencari makrifat seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah s.w.t. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah s.w.t, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali Diri-Nya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah s.w.t.

B.FANA

pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini:
“Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana’ an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa’) wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan.

DI kalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang pertama yang mencetuskan konsep al-Fana, al-Baqa dan al-Hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan Ittihad (mystical union) harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan.
Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana’ yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik.

C.AL BAQA

al-baqa’ adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti ‘tetap’, terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa’ dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik.
Al Baqa' Artinya kekal, sentiasa ada, tiada akhir, maka hakikatnya ibarat daripada menafikan ada kesudahan bagi wujud ALLAH Taala.
Adapun yang lain daripada Tuhan ada juga yang kekal tiada batas selamanya, tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki (yang sebenar) bahkan kekal aradhi (yang mendatang jua seperti Syurga, Neraka, Arasy, Kalam, Kursi dan roh). Maka perkara yang tersebut ini dikatakan kekal kerana mendatang tatkala bertakluk qudrat iradat ALLAH Taala pada mengekalkannya.
Kekalnya ALLAH SWT adalah kekal yang hakiki atau kekal sejati, iaitu kekal yang sebenar-benarnya. Sebabnya demikian adalah kerana kekalnya ALLAH SWT itu bukan kekal yang dikekalkan. ALLAH SWT kekal dengan sendirinya, dan tidak ada siapa yang mengekalkan-Nya.
Kekal yang disebabkan oleh ada yang mengekalkannya bukan dinamakan kekal yang hakiki atau kekal yang sejati. Ia dinamakan kekal aradhi atau kekal yang mendatang kemudian. ALLAH SWT tidak bersifat kekal 'aradhi.
Ada 10 perkara yang tergolong dalam kekal aradhi ini, dan berlakunya kekal aradhi kepada perkara-perkara itu adalah kerana ALLAH SWT hendak mengekalkannya.
Jadi perkara-perkara itu bukan kekal hakiki atau kekal dengan sendirinya tetapi kekal yang ada yang mengekalkannya. Yang mengekalkannya ialah ALLAH SWT. Perkara-perkara itu ialah:
1. Syurga,
2. Neraka,
3. Luh Mahfuz,
4. Arasy,
5. Qalam,
6. Kursi,
7. Roh,
8. Ajbuzzanab (tulang kecil sebesar biji sawi yang duduknya di tungking manusia; ia merupakan benih anak Adam ketika dibangkitkan dari kubur kelak),
9. Jisim segala nabi, dan
10. Jisim orang yang mati perang fiabilillah.
D.ITTIHAD
“Aku tidak heran cintaku pada-Mu
karena aku hanyalah hamba yang hina
Tetapi akuheran terhadap cinta-Mu padaku
karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.”
Yang kuhendaki dari Tuhan hanya Tuhan
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar
ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
Konsep ittihad adalah bersatunya seorang sufi dengan Tuhan. Yakni tingkatan yang tertinggi antara manusia dengan Tuhan sama. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “hai aku” (ya ana). Dalam ittihad kata A.R al- Baidawi seperti yang dikutip Nasutian, bahwa yang terlihat hanya satu wujud, sungguhpun benarnya ada dua wujud yang terpisah satu dari lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujut, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sehingga sampai-sampai sufi itu dapat berbicara dengan nama Tuhan, akibat dari proses al-fana tersebut.Abu Yazid al-Bustami termasuk orang yang pernah melakukan proses fana dan baqa’ dalam tasawuf. Kemauan dan keinginannya untuk bersatu dengan Tuhan, maka ia menempuh dengan jalan fana dan baqa’ itu. Suatu hari, ia merasa rindu dengan Tuhannya, lalu mencari jalan untuk menuju ke hadirat Tuhan. Sampai ia bermimpi melihat Tuhan, berikut ini pengalaman mimpinya;
“Aku menlihat Tuhan Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, “tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Abu Yazid al-Bustami lalu meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan, seperti yang terucap (syatahat) dari dirinya. Syatahad atau ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipindtu gerbang ittihad.
Masih banyak lagi kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yazid dengan nada yang hampir tidak ada perbedaan antara dirinya dengan Tuhan. Bahkan sampai mengundang persepsi orang bahwa Abu Yazid telah gila, sebab dari kata-katanya ia mengucapkan:
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku.”
“Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “Pergillah di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Kata-kata serupa di atas, bukan diucapkan oleh AbuYazid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya Tuhan
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur Ibn ‘Isa al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalan usia 73 tahun. Ia seorang Zahid yang sangat terkenal dalam hal kesederhanaan dan kasih sayangnnya kepada kaum yang lemah. Ia sering melakukan perantauan dari satu tempat ke tempat lain, untuk mecari hakikat Tuhan. Sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk beribadah dan meuja Tuhan. Ia selalu zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui beberapa fase, yakni zuhud terhadap dunia, akhirat dan terhadap selain Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin ,MATERI KULIAH AKHLAK TASAWUF,JAKARTA,2009
Abuya Ashaari dan Muhammad at Tamimi, Aqidah Mukmin
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Artikel Yayasan Paramadina,Tasawuf oleh Harun Nasution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar