Minggu, 25 September 2011

DINASTI MAMALIK DI MESIR: Kekuatan Militer dan Peranannya dalam Menangkis Serangan Mongol, Kemunduran dan Kehancuran


PENDAHULUAN
Dinasti Mamluk atau Mamalik (1250-1517 M) dalam Bahasa Arab: مملوك, mamluk (tunggal), مماليك, mamalik (jamak), dan malaka (memiliki)[1], Dinasti Mamalik didirikan oleh para budak. Sultan pertama[2] dinasti ini adalah Aybak (1250-1257 M) dan salahsatu sultan yang termashur adalah Sultan Baybars( 1260-1277 M)[3], mengalahkan bangsa Frangka (1249) dan Mongol (1260). Mereka sebagai penjaga Mekkah dan Madinah, menjadi kekuatan Sunni terpenting dan berkuasa lebih lama dari pada penguasa Islam sebelumnya.
Sistem politik Mamalik tidak berdasarkan atas klan dinasti, melainkan atas kelompok-kelompok (thawa’if) aristrokasi militer. Sejarah dinasti yang berlangsung sampai tahun 1517 M, ini dibagi menjadi dua periode: Pertama, periode kekuasaan Mamalik Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M. Kedua, periode kekuasaan Mamalik Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.
Pemerintahan dinasti mamalik yang juga disebut Daulah al-Atrak (negara orang-orang turki) adalah oligarki militer dan tidak menerapkan sistem turun-menurun. Tokoh milter yang menonjol dan berprestasi dapat dipilih sebagai Sultan. Hal tersebut bergeser ketika Qalawun berkuasa (1279-1290). Ia menerapkan sistem turun-menurun dengan mewariskan kekuasaan kepada keturunannya sebanyak empat kali. Akibatnya, terjadi perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya sendiri.[4] Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M).
Makalah ini akan membahas tentang kekuatan militer dinasti Mamalik dan peranannya dalam menangkis serangan Mongol, kemunduran dan kehancuran.

A.  SISTEM MILITER  DINASTI MAMALIK
Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer. Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat Sultan.
Dinasti ini menekankan pemisahan etnis militer dari masyarakat sipil. Kebijakan ini menjadi langkah penting untuk membangun kekuatan negara atas tubuh militer yang benar-benar otonom terlepas dari ikatan keluarga atau kedaerahan. Fenomena ini muncul dari kebutuhan yang mendesak akan terbentuknya sebuah kelompok yang benar-benar mengabdikan hidupnya dalam bidang militer dengan tujuan ingin membela Islam dari serangan Kristen dan Mongol.[5]
Orang-orang Mamalik dijual sebagai budak ketika masih kanak-kanak dan dibesarkan di sekolah-sekolah militer, seorang Mamalik akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Fu’usiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamalik juga akan memastikan bahwa kebudayaan Mamalik ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara Mamalik ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamalik sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamalik Khalifah atau Sultan. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamalik mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.
Pada inti Pemerintahan Mamluk terdapat praktek memperoleh anggota-anggota kelompok elit militer dan administrasi yang berkuasa dari kalangan para pemuda suku bangasa Turki di daerah stepa di sebelah utara Laut Hitam dan Laut Kaspia. Para pemuda itu memasuki Suriah dan Mesir sebagai budak. Kemudian mereka masuk agama Islam, didik dlaam pengetahua dasar agama, diajarkan seni menyusun peperangan, dan akhirnya diberikan kemerdekaan menurut hukum dan kedudukan dalam jawatan kenegaraan Mamluk. Berasal dari kalangan kepengkatan orang-orang kavaleri yang terlahir sebagai orang asing inilah para komandan puncak pemerintahan (amir) itu dipilih.[6]
a.      Bidang Ilmu Kemiliteran
Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai ‘jihad’ dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catalogue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M). Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun.
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan balatentara Salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan. [7]
Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamalik menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang.
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamalik produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol. Pada lingkungan militer Dinasti ini menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. [8]
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara Salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.
b.        Informasi Sebagai Alat Pertahanan
Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamalik menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamalik membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.
Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.
Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamalik mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamalik juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamalik tak kehabisan akal.
Sejak saat itu, Dinasti Mamalik mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamalik.
Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamalik memiliki tak kurang dari 1. 900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamalik. Sultan Mamalik mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh. Dinasti Mamalik memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.
Pada masa kekuasaan Dinasti Mamalik, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parcel. Al-kisah, penguasa Mamalik sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1. 000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamalik itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan.

B.       KEKUATAN MILITER: KRONOLOGI MENGHALAU SERANGAN BANGSA MONGOL
Kehancuran dinasti Abbasiyah oleh serangan bangsa Mongol menimbulkan pembagian kekuasaan dalam imperium, menumbangkan kekuasaan para bangsawan dan dari jabatan mereka (terutama Khalifah Al Musta’sim, yang menjadi khalifah terakhir dari dinastinya), dan memberikan peluang pada pasukan budak, kaum Mamluk. Mereka meraih kekuasaan di beberapa negeri dan mempertahankannya hingga dua abad di Mesir dan Syiria. Mereka pantas mendapatkan tahta yang mereka taklukkan, sebab mereka adalah pasukan elit dan satu-satunya yang melawan Jenghis Khan dan berhasil menangkis serangan-serangannya. Pasukan mamluklah yang menghadapi melawan para pejuang Perang Salib dan dikemudian hari melawan bangsa Mongol yang mana seluruh wilayah Islam telah ditaklukkan.[9]
Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Rencana bangsa Mongol setelah menaklukkan Syam mereka akan melanjutkan serbuannya ke Mesir. Untuk itu mereka telah mencoba menaklukkan kota Gaza, sehingga kekuasaan pasukan Mongol telah berdampingan dengan kekuasaan kerajaan Mamalik, yang saat itu dipimpin oleh sultan yang bernama Qutuz.
Setelah Sultan Qutuz menerima surat ancaman dari panglima Mongol Kitabuka, beliau merundingkan matang-matang dengan bawahannya. Dalam perundingannya sebagian bawahannya ada yang setuju mengadakan perlawanan sebagian lagi menolak mengadakan perlawanan karena takut dan enggan untuk berjuang. Sultan Qutuz akhirnya setujudengan pendapat yang mendorong untuk mengadakan perlawanan untuk berperang. Selanjutnya mengadakan persiapan memberangkatkan pasukan, pasukan di bagi menjadi dua. Pasukan perintis dipimpin oleh seoang panglima perang Mamalik bernama Baybars dan pasukan kedua dipimpin oleh sultan Qutuz sendiri.[10]
Pada tahap pertama sultan Qutuz mengirim pasukan perintis pimpinan panglima Baybars ke Palestina, sesampainya di Gaza pasukan perintis bertemu dengan pasukan Mongol. Dalam waktu singkat pasukan Muslimin mendapatkan kemenangan atas pasukan Mongol. Pasukan Islam yang datang dari Mesir bersatu dengan pasukan Islam dari Syam. Mereka berkumpul dengan kota Akka. Di kota ini kaum Muslimin mengadakan muktamar untuk mengadakan penyusunan siasat dan strategi yang akan dipakai untuk menghadapi pasukan Mongol, dalam kesempatan ini sultan Qutuz membakar semangat pasukan Islam agar mereka berani berjuang.
Tepat pada tanggal limabelas Ramadhan 659 H / 13 September 1260 M,Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, pasukan Mongol dibantu oleh  pasukan kaisar Heitom bertemu dengan pasukan Islam dari Mesir dan Syam. Di saat itu sultan Qutuz benar-benar mengetahui bahwa pasukan Islam hanya sedikit dibandingkan pasukan gabungan Mongol. Karena itu beliau menyembunyikan pasukannya di atas bukit yang terdekat. Sedangkan yang maju ke medan perang yaitu pasukan perintis pimpinan panglima Baybars sendiri.
Ketika panglima Kitabuka melihat tentara Islam yang hanya sedikit saja dia langsung mengerahkan semua pasukannya uantuk menghajar pasukan Islam. Pasukan Islam pura-pura melarikan diri, sehingga pasukan Mongol makin ganas untuk mengejar mereka. Setelah pasukan Mongol jauh mengejar pasukan Islam, dengan segera pasukan Islam yang dipimpin sultan Qutuz mengepung pasukan Mongol dari tiga jurusan. Dalam peperangan ini sultan Qutuz sendiri yang maju ke depan sebagai pimpinan tertinggi. Beliau menunjukkan ketangkasan dan keberaniannya dalam peperangan sehingga kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang. Tentara Mongol dan sekutunya, yang sebanyak itu dapat dihancurkan oleh tentara Islam.
Kekalahan yang diperoleh oleh tentara Mongol adalah kekalahan pertama sejak sejarah penyerbuannya ke dunia Islam. Sebenarnya panglima Kitabuka tak kalah kemahirannya dalam pimpinan peperangan dengan panglima Hulagu Khan, karena setiap pimpinan yang diangkat jadi panglima perang pasti akan dipilih orang yang cakap. Karena itu kekalahan tentara Mongol di medan Ain jalut bukan disebabkan kurang cakap pimpinannya dan bukan karena kebetulan. Namun kemenangan yang diperoleh kaum Muslimin adalah karena persatuan kaum Muslimin dan pertolongan Allah semata-mata.
Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Orang Sunni di Damaskus menyambut kemenangan itu dengan menyerang orang Kristen, Yahudi dan Syi’ah yang selama ini dicurigai bekerjasama dengan tentara Mongol. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik. [11]
Dalam rangka menangkis ancaman dari dalam dan luar negeri, Baybar secara sungguh-sungguh melakukan konsolidasi di bidang kemiliteran dan pemerintahan. Kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn Jalut (1260) menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Di samping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbasiyah al-Mustanshir sebagai khalifah setelah berhasil meloloskan diri dari serangan tentara bangsa Mongol. Pemerintahan di Baghdad berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya.
Untuk pertahanan dalam negeri, Baybars mengetahui benar bahwa masyarakatnya yang mayoritas Sunni menginginkan kesulitannya mendapat pengesahan keagamaan dari khalifah mengikuti jejak Dinasti Ayyubiyah yaitu dengan cara menghidupkan mazhab Sunni dan dengan sendirinya mendapat simpati dari masyarakat Mesir yang mayoritas Sunni.
Dalam bidang kemiliteran, kaum elit militer ditempatkan pada kelompok politik elit dan jabatan-jabatan penting dipegang oleh anggota militer yang berprestasi. Dalam lapangan militer Baybar diakui sebagai panglima tangguh. Dalam kurun enam tahun, dihabiskan waktunya untuk menghancurkan sebagian besar kekuatan Salib disepanjang pantai Laut Tengah. Pemberontakan kaum Asasin di pengunungan Syiria dapat juga dilumpuhkan. Nubia dan sepanjang Laut Merah ditaklukkannya bahkan kapal-kapal Mongol di Anatolia dirampasnya. [12]
Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun (1293-1340) pada masa kekuasaannya terjadi serangan terakhir yang cukup serius dari tentara bangsa Mongol, dipimpin oleh Il-Khan ketujuh yaitu Ghazan Mahmud, yang pemerintahan Islamnya pada akhirnya diakui sebagai negara-agama dinasti Il-Khan. Angkatan perang Mesir, yang jumlahnya sekitar sepertiga pasukan Mongol, ditaklukkan (23 Desember 1299) di wilayah timur Emessa oleh pasukan penyerbu yang jumlahnya sekitar seratus ribu personel diperkuat oleh pasukan dari Armenia dan Georgia. Pasukan mendapatkan kemenangan, pada awal tahun 1300 berhasil menduduki Damaskus. Tiga tahun kemudian laju serangan pasukan Ghazan berhasil dapat ditahan di Marja Shufar selatan Damaskus (1303). Untuk keempat kalinya pasukan Mamalik berhasil memukul mundur pasukan Mongol sejak masa penaklukan Islam ke wilayah itu. Setelah itu, tidak ada pengganti Ghazan yang berani ambil resiko melakukan serangan-serangan lain. Oleh sebab itu, pasukan Mamalik dapat merebut kembali seluruh daerah Suriah. [13]

C.    KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI MAMALIK
Proses jatuh bangunnya sebuah bangsa atau dinasti, tidak terkecuali proses kejatuhan atau keruntuhan Dinasti Mamalik adalah sebuah siklus sejarah yang selalu terulang. Dalam pengamatan Ibn Khaldun (1332-1406), Filosof Sejarah yang karyanya “Muqaddimah” disebut Toynbee sebagai “the greatest work”, runtuhnya suatu Imperium, Kerajaan ataupun Dinasti biasanya diawali dengan sikap kezaliman penguasa dan pemerintahnya yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya, serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang berlaku. [14] 
Apa yang terjadi pada Dinasti Mamalik, persis seperti kesimpulan yang dikatakan Ibn Khaldun dalam ‘masterpiecenya’ Muqaddimah[15], Dalam bagian ketiga dari Muqaddimah Ibn Khaldun menulis:
“Apabila pada suatu waktu mereka mendirikan Negara, mereka tidak lagi berjuang dengan gigih, sebagaimana yang tadinya telah mereka lakukan. Mereka malahan memilih hidup menganggur, bersenang-senang, dan bermalas-malasan. Kini mereka mencoba menikmati buah kekuasaan ; seperti rumah bagus dan pakaian yang indah. Mereka mendirikan Istana, menyalurkan air ke istana, membikin taman. Mereka mulai tertarik pada kebagusan yang luar biasa pada pakaian, makanan, perkakas rumah dan alat rumah tangga, dan secara umum dapat dikatakan, mereka memiliki hidup enak dibanding kerja keras. Demikianlah dengan cepat mereka menjadi terbiasa dengan cara hidup yang mewah. Cara hidup mewah itu lalu mereka wariskan kepada keturunan mereka. Demikianlah, makin hari makin menjadi, dan sampai pada saatnya Allah mengakhiri kemewahan itu. Sekali usaha usaha pemusatan kekuasaan dalam tangan seorang telah tercapai, dan kemewahan serta sifat malas telah merata, maka berarti Negara telah mendekati kehancurannya”.

Paparan Ibn Khaldun di atas akan mengantarkan kita pada pemahaman yang jelas mengapa dinasti Mamalik yang bahkan telah mencoba menerapkan sistem Oligarki dalam pemerintahannya sekalipun pada akhirnya mengalami fase keruntuhan. Begitu pula Dinasti Mamalik mengalami pasang surut. Setelah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, dinasti ini mengalami masa kemunduran yang pada akhirnya membawa kepada masa kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan Dinasti ini mengalami kemunduran dan kehancuran diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. FAKTOR INTERNAL
1.      Perebutan Kekuasaan
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya dinasti Mamalik adalah karena lemahnya kemampuan para Sultan dari Mamalik Burjiyah dalam mengatur roda pemerintahan, kecuali dalam hal latihan militer. Sedangkan dalam mempertahankan eksistensi sebuah dinasti tidak cukup hanya kemampuan militer saja tetapi juga keahlian dalam mengelola dan mengatur pemerintahan yang tentu saja membutuhkan seorang Sultan atau penguasa yang ahli dalam hal itu.
Pada masa pemerintahan Qalawun, Sultan Mamalik ke-7 (1279-1290) melakukan perubahan dalam pemerintahan, yaitu pergantian sultan secara turun-temurun dan tidak lagi memberikan kesempatan kepada pihak militer untuk memilih sultan sebagai pemimpin mereka. Sistem baru yang ditetapkan oleh Qalawun ternyata telah menimbulkan kericuhan dalam pemerintahan. Sultan al-Nasir Muhammad ibnu Qalawun (1293 M) ia mengalami dua kali turun tahta karena perebutan kekuasaan dengan Kitbuga (al-Adi Zaenal al-Din) dan Najim al-Mansur Hisamuddin. Pada 1382 M Barquk al-Dzahir Saef al-Din dari Mamalik Bujiah berhasil merebut kekuasaan dari tangan al-Shalih Salahudin, sultan terakhir keturunan Qalawun. Sejak saat itu mulai periode kekuasaan Mamalik Burjiah. [16]
Kelemahan ini disebabkan karena banyak penguasa Mamalik Burjiyah tidak menyukai ilmu pengetahuan, bahkan Sultan Barquq, Inal, Bilbay, mereka buta huruf. Yalbay, Sultan keenam belas dari Mamalik Burji bukan hanya buta huruf tetapi juga gila. Disamping itu mereka bermoral rendah, cinta kemewahan dan hobi berfoya-foya yang menyebabkan pajak dinaikkan. Bahkan dari begitu banyak Sultan yang berkuasa selama 134 tahun, hanya Barquq yang mempunyai ayah seorang muslim.
Penguasa terakhir dinasti Mamalik Bahri, cicit al-Nashir, al-Shalih Hajji ibn Sya’ban (1381-1390) hanyalah seorang anak kecil yang setelah dua tahun memerintah, kekuasaannya diselingi oleh Sultan lain, dan kemudian diakhiri oleh Barquq dari Circassius, pendiri dinasti baru yaitu Dinasti Burji. Barquq memulai karir sebagai budak untuk anak al-Asyraf, yakni Sya’ban. Sebelum Barquq, seorang Circassius lainnya, Baybar II (1308-1309), seorang budak Qallawun, adalah satu dari tiga sultan yang menyelingi kekuasaan al-Nashir.
Kedua belas keturunan al-Nashir yang meneruskan kekuasaannya dalam masa yang cukup singkat, yaitu 42 tahun (1340-1382 M) merupakan sosok-sosok yang lemah. Para amir merekalah yang sebenarnya memerintah dan saling berebut kekuasaan serta memperkuat posisinya di pemerintahan. Mereka memecat atau membunuh Sultan sekehendak hati. Tak ada satu pun dari sultan-sultan ini yang memiliki keistimewaan dan memberikan sumbangan bagi kemajuan Negara.


2.      Kemewahan dan Korupsi (figur khalifah yang lemah)
Kesultanan Mamalik mulai menunjukan kelemahan sejak pemerintahan beralih dari Mamalik Bahriyah ke tangan Mamalik Burjiyah pada tahun 1382 M. Akan tetapi, bibit-bibit keruntuhan itu telah Nampak sejak Sultan terkuat terakhir dari Mamalik Bahriyah, yaitu al-Nashir yang pernah berkuasa tiga kali dengan rentang waktu yang cukup panjang, 1293-1294, 1298-1308, dan 1309-1340. Ia menduduki singgasana sejak berusia Sembilan tahun. Meski banyak membawa kemajuan, tetapi sikap hidupnya yang mewah, boros dan berlebihan pada gilirannya ditiru oleh para sultan dari Mamalik Burjiyah yang memerintah sesudahnya.
Gaya hidup mewah al-Nashir tidak hanya dalam urusan dan kepentingan pribadi. Dalam urusan publikpun dia dikenal royal. Ia banyak membangun tempat-tempat umum dengan bangunan-bangunan yang indah. Sebagian bangunan-bangunan itu dibangun oleh pekerja-pekerja paksa. Semua itu menandai klimaks dalam kebudayaan Mamalik. Al-Nashir membangun sebuah kanal, yang dikerjakan oleh sekitar 100. 000 pekerja, menghubungkan Iskandariyah dengan sungai Nil. Kemudian pada 1311 ia membangun sebuah saluran air dari dari sungai itu ke kompleks pertanahan di Kairo, mendirikan tigapuluh mesjid di seluruh pelosok kerajaannya, di samping beberapa biara untuk para darwisy, keran air minum untuk umum (kata tunggal dalam bahasa arab sabil), kamar mandi umum dan sejumlah sekolah. Mekkah menjadi kota khusus yang merasakan kemurahannya. Masjid pribadinya yang berada di dalam komplek pertanahan, yang dibangun tahun 1318, ia hiasi dengan material dari reruntuhan katedral Akka. Sekolahnya, yang selesai dibangun pada 1304, yang ia namai sesuai namanya, yaitu al-Nashiriyah, masih bertahan hingga kini di Kairo. Sekolah dan masjidnya menjadi contoh pencapaian terbaik dalam arsitektur Islam.
Gaya hidup tinggi pemerintahan Al-Nashir yang panjang, pada ujungnya dibebankan pada rakyat karena mesti membayar pajak yang lebih tinggi dan menjadi salah satu sebab runtuhnya dinasti ini. Sultan mengambil beberapa tindakan ekonomi untuk meringankan kesengsaraan yang sudah tersebar luas. Dia meningkatkan kerjasama perdagangan dengan Eropa, dan negara-negara timur, memerintahkan untuk melakukan  survey ulang terhadap keadaan perekonomian negara, mencabut pajak untuk garam, ayam, gula, perahu, budak, dan kuda, melarang peredaran minuman keras, serta melarang penerapan harga yang berlebihan. Bagaimanapun efek yang cukup meringankan ini hanya berlangsung sebentar. Setelah ia mati, perang sipil dan wabah kelaparan menambah kesengsaraan penduduk. [17]
Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para sultan, namun juga oleh para pejabat rendahan. Para amir dan budak-budak Mamalik yang jumlahnya sangat banyak mengorganisir diri mereka sendiri dalam berbagai fraksi yang menginduk pada kelompok pengawal masing-masing yang satu sama lain saling memusuhi. Masing-masing fraksi semata-mata digerakkan oleh hasrat untuk menguasai semua kekayaan dan pengaruh. [18]
3.      Merosotnya Perekonomian
Setelah Mamalik Burji berkuasa, banyak sultan yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil.
Ketika pada tahun 1498 M (903 H), Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan (Lautan Hindia) dan menjadikannya pusat perdagangan sehingga jalur perdagangan dialihkan dari Kairo yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara ke Tanjung Harapan. Tidak hanya serangan armada Portugis dan negara Eropa lain semakin sering menimpa kapal-kapal muslim di laut Merah dan perairan India, tetapi juga secara bertahap lalu lintas rempah-rempah dan produk-produk tropis lain dari India dan Arab dialihkan dari pelabuhan-pelabuhan Suriah dan Mesir. Akibatnya, salah satu sumber utama pendapatan nasional hancur.[19]
Kondisi ini diperparah oleh perang sipil dan datangnya kemarau panjang menyebabkan sungai Nil menjadi dangkal dan pengairan pertanian terhambat, menyebabkan wabah kelaparan dan berjangkitnya wabah penyakit. Wabah “kematian hitam” yang pernah menyerang Eropa sekitar tahun 1348-1349 M, menelikung Negeri Mesir hampir selama tujuh tahun, dan memakan korban yang amat banyak. Jumlah kematian secara keseluruhan menurut Ibn Iyas mencapai angka 900000 (sembilan ratus ribu) orang.
Sultan dan semua orang yang mampu, hengkang menghindari wabah ini. Dikatakan bahwa kota Gazza kehilangan 22000 (dua puluh dua ribu) penduduknya dalam satu bulan, sedangkan di Aleppo sekitar 500 (lima ratus) orang meninggal setiap harinya. Keduabelas keturunan al-Nashir yang meneruskan kekuasaannya dalam satu masa yang cukup singkat, yaitu 42 tahun (1340-1382 M) merupakan sosok-sosok yang lemah. Para amir merekalah yang sebenarnya memerintah. Mereka memecat dan membunuh sultan sekehendak hati. Tak ada satupun dari sultan-sultan ini yang memiliki keistimewaan dan memberikan sumbangan bagi kemajuan negara. Satu-satunya monumen yang berharga hanyalah masjid Sultan al-Hasan, anak al-Nashir, yang selesai dibangun pada 1362 M, dan diakui sebagai masjid terindah yang dibangun dalam rancangan berbentuk silang.

  1. FAKTOR EKSTERNAL
1.         Serangan Mongol
Dalam hubungan internasional, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli ketimbang mengurusi persoalan domestik dalam negeri. Menjelang akhir sultan pertama mereka, arus baru pasukan penyerang Mongol yang dipimpin oleh Timurlenk, penerus Hulagu, dan Jengis Khan mulai menampakkan wajahnya diufuk utara. Dibagian wilayah Mamalik, Suriah selama periode ini disibukkan oleh banyaknya pemberontakan yang dilakukan para gubernurnya, dan sebagian diantara mereka dihasut oleh Mongol.
Pada 1380, ketika mengepalai kelompok Tartar, Timurlenk melakukan beberapa serangan keberbagai wilayah, sehingga menguasai Afganistan, Persia, Faris dan Kurdistan. Pada tahun 1393, ia menaklukkan Bagdad dan beberapa tahun berikutnya menyerbu Mesopotamia. Tahun 1395, menyerbu kekuasaan Sultan Qipchaq dan menduduki Moskow. Menjelang akhir kekuasaannya, Barquq mengekskusi utusan Timurlenk meskipun mereka datang membawa misi persahabatan. Pada tahun 1400 Timurlenk menyapu bersih wilayah Suriah Utara. Kekuatan tambahan pasukan Mesir di bawah komando Sultan Faraj dihabisi, dan Damaskus direbut pada Februari 1401. Beberapa sarjana Damaskus, pekerja handal dan para perajin ahli dibawa Timurlenk ke ibukotanya, Samarkhand, untuk menenam benih-benih pengetahuan Islam dan memperkenalkan industry kerajinan yang sejak itu hilang dari ibukota Suriah. Pada tahun 1404 Timurlenk tewas dalam pertempuran melawan pasukan Cina menjadi saat kemerdekaan Mesir pada periode Mamluk. Kuburan Timurlenk masih dapat dilihat di Samarkand.
Anak dan pengganti Timurlenk, Syah-Rukh (1404-1447) menjalin permusuhan dengan Barsbay karena ia menuntuk hak –dalam rangka memenuhi sumpah– untuk menghiasi Ka’bah dengan penutup yang berharga– hak istimewa yang selalu dipelihara oleh Dinasti Mamalik sebagai pemimpin dunia Islam. Setelah berkonsultasi dengan para Qadhi-nya, dari empat mazhab, Barsbay menjawab bahwa Syah-Rukh dapat menebus sumpahnya dengan memberikan sedekah kepada orang-orang miskin Mekah. Kemudian Syah-Rukh mengirimkan utusan lain yang membawa jubah kebesaran dan memerintahkan sultan Mamluk untuk menerima penobatan dirinya sebagai pengikut Syah-Rukh. Sebagai jawaban,      Barsbay mencabik jubah itu dan utusan pembawa jubah itu dicambuk, kemudian kepalanya dibenamkan di kolam. Setelah kematian Syah-Rukh, rezim Timurlenk tenggelam dalam konflik internal diantara mereka, sehingga memberikan kesempatan bagi munculnya Dinasti Safawiyah dan terbentuknya kembali kerajaan Utsmani.[20]
2.         Serangan Turki Utsmani
Suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.
Pada pihak lain kerajaan Usmani yang terus berkembang dan bahkan mengancam Mamalik, telah memanfaatkan keampuhan senjata api. Pasukan Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim berhasil mengalahkan pemerintahan ash-Shafariyah pada perang Jaladiran yang sangat terkenal pada tahun 902H/1514M. Mereka berhasil memasuki ibukotanya, Tibriz. Dengan demikian Irak berhasil masuk dibawah kekuasaan Utsmani. Setelah itu mereka berhasil berhasil mengalahkan pemerintahan Mamalik di negeri Syam pada perang Marj Dabiq di Halb. Sultan Qashuh al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun 922H/1516M. Dalam situasi yang demikian serangan pasukan Turki Usmani tentu sulit untuk dibendung. Sultan Salim melanjutkan penyerangannya ke Mesir dan akhirnya tahun 1517 Kairo jatuh pada perang Raydaniyah. Pada perang ini Sultan Thuman Bay II (al-Asyrof) terbunuh. Dengan terbunuhnya Sultan Mamalik ini, maka berakhir pulalah pemerintahan Mamalik. Khalifah Abbasiyah terakhir, Al-Mutawakkil’Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Salim. dengan hancurnya kekuasaan dinasti Mamalik maka Mesir masuk wilayah kekuasaan dinasti Utsmaniyah yang menjadikan Istambul sebagai pusat kekuasaan.[21]
Dalam sejarah Islam, Khalifah-Sultan dari Konstantinopel menjadi raja yang paling kuat, yang mewarisi tidak hanya kekhalifahan Baghdad, tetapi juga kekaisaran Bizantium. Dengan hancurnya kekuatan dinasti Mamalik, dan berkembangnya kekuasaan bangsa Turki di Bosporus, maka fokus kekuatan Islam diarahkan ke barat. Dan pada kenyataannya, pada saat itu pusat peradaban dunia telah berpindah ke Barat. Penemuan Amerika dan Tanjung Harapan telah mengalihkan perdagangan dunia ke rute-rute baru, dan seluruh kawasan Mediterania Timur mulai tenggelam di balik tirai sejarah. Disini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada Abad Pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada titik akhir, dan sejarah modern kerajaan-kekhalifahan Utsmani dimulai era pertengahan hingga modern.



DAFTAR PUSTAKA

Adlan. Abdul Jabar, Dirasat Islamiyyah; Sejarah dan Pembaharuan dalam Islam, (Surabaya: CV. Anika Bahagia Offset, 1995)

Al-‘Usairy. Ahmad, Sejarah Islam, sejak zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007)

Al-Muhdar, Yunus Ali, Toleransi-toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983)

Black. Antony, Pemikiran Politik Islam-dari masa Nabi hingga kini, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001)

Dunn. Ross E., Petualangan Ibnu Battuta, seorang Musafir Muslim Abad ke-14, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Intermasa

Hitti. Philip K., Historis of The Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010)

Merisi. Fatima, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994)

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban dikawasan Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)

[1]Mamluk/Mamalik berarti budak, sesuatu yang dimiliki. Kaum Mamluk adalah budak-budak berkulit putih yang merupakan kebalikan dari ‘abd, kata arab lain yang berarti “budak” yang biasanya diterapkan pada budak kulit hitam. Kaum Mamluk berasal dari Turki  padang rumput Asia, ditangkap oleh para pedagang budak yang menjual mereka kepada para sultan. Setalah menjalani pendidikan militer yang keras, mereka pada prinsipnya telah dibebaskan dan disatukan dengan golongan militer di istana-istana. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamalik Bahri Laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Syirkasiah yang didatangkan oleh Sultan Qalawun (1279-1290) ketika dirasa para Mamluk Bahri akan dapat mengancam kekuasaannya dan kemudian mereka ditempatkan di menara-menara benteng dan akhirnya dijuluki dengan Mamluk Burji (buruj artinya menara). Pada masa al-Malik al-Salih berkuasa, para budak itu secara bergelombang didatangkan untuk dapat mempertahankan kekuasaannya dari segala rongrongan yang dapat mengganggu tampuk kekuasaannya. Oleh karena itu mereka secara simultan dapat membangun solidaritas yang tinggi bagi kelangsungan kekuasaan mereka kelak jika terjadi pergantian kepemimpinan sultan (suksesi), terlebih mereka seringkali ditakutkan dengan kehadiran suku kurdi yang dipercaya sebagai tentara pengaman Sultan al-Malik al-Kamil Barquq dari Circassius, pendiri dinasti baru yaitu Dinasti Burji. Barquq memulai karir sebagai budak untuk anak al-Asyraf, yakni Sya’ban. Sebelum Barquq, seorang Circassius lainnya, Baybar II (1308-1309), seorang budak Qallawun, adalah satu dari tiga sultan yang menyelingi kekuasaan al-Nashir. {dikutip dari (Ratu-ratu Islam yang terlupakan ditulis oleh Fatima Mernisi) dan diposting dari (http://www. cybermq. com dan http://wildanhasan. blogspot. com tanggal 9 mei 2010)}
[2]Dileteratur lain disebutkan bahwa sultan pertama adalah seorang wanita yaitu Syajarat Ad-Dur (dengan gelar Al-Muiz Al-Din), janda dari Al-Malik As-Shalih sultan dinasti ayyubiyah. Lihat: tabel, Sejarah Islam, Ahmad al-‘Usairy hal. 306
[3] Abdul Jabar Adlan, Dirasat Islamiyyah; Sejarah dan Pembaharuan dalam Islam, Surabaya: CV. Anika Bahagia Offset, 1995, Hal. 102
[4]Ensiklopedi Islam, Jakarta: Intermasa, hal. 260
[5] Antony Black, Pemikiran Politik Islam; dari masa Nabi hingga kini, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001, Hal. 267
[6] Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, seorang Musafir Muslim Abad ke-14, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 57
[7]Wikipedia, Mamluk, http://id. wikipedia. org/wiki/Mamluk, diakses 9 Maret 2010
[8]Ibid. Wikipedia, Mamluk.
[9] Fatima Mernisi, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 144
[10]Yunus Ali AlMuhdar, Toleransi-toleransi Islam, Bandung: Iqra, 1983, hal. 148
[11]Ibid, Ensiklopedia Islam.
[12]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban dikawasan Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 128
[13]Philip K. Hitti, Historis of The Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006, hal. 871
[14]Dikdik M. Tasdik, Dinasti Mamalik, http://wildanhasan. blogspot. com/2009/05/dinasti-mamalik. html, diakses 9 Maret 2010.
[15]Ketika Negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi malas, tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Dan itulah pertanda kejatuhan mereka sudah dekat.
[16]Ibid, Ajid Thohir, hal. 131
[17]Philip K Hitti, hal. 873
[18] Ibid, hal. 890
[19]Philip K. Hitti, hal. 891
[20] Ibid, hal. 898
[21]Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam, sejak zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007, hal. 312