Selasa, 20 September 2011

HUBUNGAN AILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA


A.HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TASAWUF

Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.


B.HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TAUHID
Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpinting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Nah, bagaimana hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu tauhid? Sekuang-kurangnya dapat dilihat melalui tiga analisis sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya.
Ilmu tauhid membahas masalah masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan utuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlsan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Alla SWT. Berfirman:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(AL BAYYINAH 5)

Dilihat dari segi fungsinya.
Ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percapa bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu.
Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Qur’an:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).

C.HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU JIWA

Ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu in meneliti tentang peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia. Dengan demikian, psikologi merupakan mukadimah pokok sebelum mengkaji tentang akhlak. Prof. Ahmad Luthfi berpendapat, “ ilmu akhlak tidak akan bisa dijabarkan dengan baik tanpa dibantu oleh ilmu jiwa (psikologi).” Itulah yang menyebabkan Imam Al Ghozali sebelum mengajar ilmu akhlak, beliau mengajarkan terlebih dahulu kepada muridnya mengenai ilmu jiwa, dan itulah mengapa Imam Al Ghazali menyusun kitab Ma’arijul qudsi fi madaariji ma’riftin nafsi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu jiwa dan ilmu akhlak bertemu karena pada dasarnya sasaran keduanya adalah manusia. Ilmu akhlak melihat dari apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa (psikologi) melihat tentang apa yang menyebabkan terjadinya suatu perilaku. Hubungan Antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata “socious” yang berarti kawan, dan “logos”yang berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia berkawan, atau dalam arti luas adalah ilmu pengetahuan yang berobjek pada kehidupan bermasyarakat.
Ahmad Amin mengemukakan bahwa antara ilmu akhlak dan ilmu sosiologi memiliki kaitan yang sangat erat. Ilmu akhlak mempelajari tentang perilaku (suluk), artinya perbuatan dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, dimana tidak akan bisa lepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian sosiologi. manusia dalam hidupnya tidak akan mungkin bisa melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, dalam membahas akhlak yang membahastentang kehidupan individu, perlu menelusuri dan membahas kehidupan dalam bermasyarakat juga.

PENDEKATAN TASAWUF
a. Tasawwuf teoritis, yang di dasarkan pada pembahasan pengamatan dan pengkajian.
b. Tasawwuf prktis, yang di dasarkan pada kezuhudan dan asketisme, banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian bersamaan Allah SWT.
Kedua model sufisme ini membawakan dampak dalam dunia penafsiran al-Quran yang akibatnya lahirlah dua model penafsiran sufisme yang dikenal dengan tafsiran Sufi isyari dan tafsir sufi Nadhari.
1.Tafsir sufi isyari
Adalah penakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda makna lahirnya lafal atau ayat-ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yagn hanya diketahui oleh sebagian ulul ilmi dan arifin. Sehingga metode mampu menemukan rahasia-rahasia al-Quran al-adhim. Dasar pemafsiran dari tafsri isyari adalah "bahwa al-Quran mencakup apa yang lahir dan batin, makna dhari dari al-Quran adalah teks ayatnya, sedangkan makna batinya adalah makna isyarat dibalik makna dhahir.
Dalam tafsri ini, seseorang mufassir akan melihat makna lain, selain makna lahir yang terkansdung oleh ayat al-Quran. Tetapi makna lain itu tidak nampak oleh setiap orang kecuali orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah dan diterangkan mata hatinya.
Tafsir isyari tidaklah bisa diterima apabila tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama. Tidak meniadakan makna lahir al-Quran.
Kedua, tidak menyatakan bahwa makna isyari itu merupakan murad (maksud sebenarnya) atu-satunya, tanpa ada makna lahir
Ketiga,hendaknya suatu takwil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafadz yang dimaksud.
Keempat, hendaknya ia tidak bertentangan dengan syarat maukpun akal keraguan pemahaman manusia.
Tanpa syarat tersebut suatu tafsir isyari tidak bisa diterima,sebab jika tidak memehuni syarat-syarat di atas. Ia merupakan tafsri bir'riyi yang dilarang, atau sekedar yang hanya merupakan hawa nafsu.
2.Tafsir sufi nadhari
Adalah tafsir yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik dengan menggeser tujuan al-Quran kepada tujuan tarjet mistis mufassir. Ad-Dahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam prakteknya adalah pensyarahan al-Quran yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara',ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir nadhari adalah Muhyiddin ibn al-Arabi yaitu seorang sufi yang dikenal dengan paham wihdhatul wujud.
Penafsirnnya selalu dipengaruhi oleh faham tersebut, wihdatul wujud merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawwuf dan seolah-olah penafsirannya dijadikan legitimasi atas pahamnya.
Adz-Zahabi berpendapat bahwa Ibn Arabi dalam menafsrikan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari tema ayat yang dimaksud Allah. Jelaslah adz-Zahabi tidak setuju dengan penafsiran Ibn Arabi, ketika menafsirkan –ayat 29-30 dan Q.S al-Fajr yang berbunyi فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى(wadkhuli jannati) menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya dengan menyingkap penutup yang ada pada manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surgaNya maka kamu telah masuk ke dalam diri kamu dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan kata lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah hamba.
Cirri dari tafsir nadhari menurut Ibn Arabi yaitu
Pertama. Penfsiran ayat al-Quran dalam tafsri nadhari sangat dipenuhi oleh filsafat
Kedua. Hal-hal yang ghaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain yang mengiaskan ghaib ke yang nyata.
Ketiaga, terkadang tidak perhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh jiwa sang penafsir.
3. Metode tafsir sufi
Untuk mengetahui bagaimana metode tafsir sufi ini, kami mencoba melihat dari penafsir seorang imam besar dan alim yang utama, Nizhahuddin Al-Hasan Bin Muhamammad Al-Husain Al-Khurasani. Beliau dibesarkan di daerah Naisabur, sedangkan tempat asal keluarga dan familinya adalah kota Qum (Iran). Beliau telah mendalami ilmu-ilmu rasional (aqliyah) dan bahasa arab. Di antara kitab-kitab yang dikarangnya, yang terpenting ialah kitab tafsir yang berjudul Qaraibul Quran Wa Raghaiblul Furqan.
Dalam tafsrinya ini imam an-nasaiburi bersandar pada tafsir al-kabir karangan Imam Fakhrur Razy, Tafsir al-Kasysyaf dan kitab tafsir lainnya. Disamping itu, beliaupun memperlihatkan uraian-uraian rasional yang menunjukkan kepribadiannya yang cemerlang. Beliau tidak hanya mengambil alih begitu saja apa yang dikatakan oleh imam ar-Razi atau imam Zamakhsari. Tetapi juga memperlihatkan keluasaan pemahaman dan kekuatan akalnya sendiri.
Imam an-Nasaiburi mempunyai metode penafsiran yang khas, yang tidak dimiliki oleh banyak mufassir lainnya. Dalam tafsirnya, beliau menempuh metode sebagai berikut:
a.memulai dengan menerangkan segi-segi qiraat, dengan menyebutkan apa-apa yang dinisbatkan kepada para imam yang sepuluu, dengan menisbatkan masing-masing qirat kepada ahlinya.
b.Membagi ayat-ayat dalam pokok pembicaraan dan membahas ajaran yang berkandung dalam tiap-tiap kelompok ayat.
c.Baru setelah itu, memulai penafsiran. Dengan menyebut kaitan antara ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat yang mendahuluinya. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan makna ayat-ayat dengan susunan yang kuat, yang menunjukkan keluasaan ilmu bahasa, gramatikal dan bayannya.
Imam an-Nasaiburi dalam tafsirnya cedrung sufi, kesan itu nampak jelas dalam penafsiranya terhadap ketahuilah. Apabila selesai manafsirkan ayat menurut mekna zahirnya, terkadang kita mumkpai beliau manmbahkan tafsir isyari, berdasarkan apa yang telah Allah kita anugrahkan kepada beliau, atau dengan menyebutkan pandangan-pandangan penganut sufi. Misalnya dalam menafsirkan firman Allah.
وَاِذْقَالَ مُوْسَ لِقُوْمِهِ اِنَ للهَ ياَءْمُركُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً (البقرة )
Artinya: "ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: "sesungguhnya allah memerinatahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi " (Q.S al-baqarah)
Setelah menerangkan makna zhahir ayat di atas tersebut, beliau berkata: "takwil penyembelihan sapi betina itu adalah isyarat kepada penyembelihan nafsu kebinatangan.karena dalam penyembelihan itu terdapat kehidupan ruhania, dan itulah yang dinamakan jihad akbar (perjuangan bebas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar