Jumat, 08 April 2011

Sekali Lagi...tentang Metodologi Studi Islam

Penelitian Corak Naturalistik-Fenomenologis dalam Fenomena Keislaman

Dalam meneliti fenomena keislaman, para peneliti menggunakan dua bentuk metodologi, yaitu penelitian kualitatif dan kuantitatif. Kedua metode ini masing-masing menampilkan keunggulan yang kompetitif. Misalnya penelitian kualitatif memandang penelitian kuantitatif itu kurang validitasnya, sementara penelitian kuantitatif mengeritik penelitian kualitatif tidak refresentatif, impressimistik, unrealible, dan subyektif.
Metode penelitian kualitatif dengan corak naturalistik-fenomenologis, jika dibandingkan dengan jenis pendekatan penelitian lainnya, sebetulnya adalah proses akhir dari sejarah perkembangan metodologi kualitatif, karena ia merupakan model yang telah menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna.
Penelitian dengan corak naturalistik-fenomenologis merupakan penelitian kualitatif yang secara terus menerus dikembangkan oleh para peneliti dan zaman ke zaman. Istilah ini pada mulanya bersumber dari pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu, sehingga pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Dalam hal ini, seorang pengamat mulai mencatat dan menghitung dengan menggunakan angka-angka. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti mengatakan bahwa penelitian kualitatif mencakup berbagai jenis penelitian yang didasarkan perhitungan persentase, rata-rata, dan perhitungan data statistik.
Dalam penelitian dengan corak ini dituntut agar penelitian itu disusun sementara karena akan diubah dan dikembangkan sesuai konteksnya, tergantung pada interaksi peneliti dengan konteksnya, semua itu sesuai dengan aksiomanya bahwa realitas itu ganda.  Ada dua hal pokok yang harus dipaparkan, yaitu permasalahan dan metodologi penelitian. Di dalam permasalahan, peneliti memaparkan latar belakang yang memperjelas mengapa hal tersebut hendak diteliti, kemudian diikuti dengan rumusan masalah. Pada permasalahn tersebut mengandung konsep-konsep yang dipertegas dengan batasan atau definisi operasionalnya yang disertai dengan variabel dari masing-masing konsep. Selanjutnya yang ingin dicapai dari masalah yang dijelaskan juga pernyataan formulasi jawaban sementara (hipotesis) dan cita-cita kemanfaatannya.
Arus penelitian naturalistik menuntut peneliti langsung terjun ke lapangan berdasarkan pada empat unsur sekaligus yang didata dan dikembangkan, yaitu: (1) menetapkan sampel secara purposive, (2) mengadakan analisis data secara kualitatif, (3) mengembangkan grounded theory secara induktif, dan (4) mengembangkan desain penelitian.
Pada waktu terjun ke lapangan, peneliti tidak membawa bentuk dan instrumen serta konsep tertentu. Di lapangan sambil mengamati sampelnya, menganalisis datanya, mencoba mencari alternatif grounded teorinya dan membuat desain penelitiannya, yang kesemuanya itu akan terus dapat berubah dan dikembangkan sesuai dengan konteks dan situasi tertentu.
Jika peneliti melihat ada sesuatu yang sangat urgen sifatnya, maka harus dicermatinya secara serius. Penelitian dengan corak naturalistik, peneliti harus melihat manusia sebagai instrumen riset. Olehnya itu, pada lapangan yang diteliti, metode yang dipraktekkan adalah simple karena sifatnya langsung meneliti subyek pendukung obyek penelitian. Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat dan sejarah dalam pengertian yang lebih luas.
Dengan mengacu kepada sistem kerja metode fenomenologi, maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan: Pertama, deskripsi yang bukan saja dari segi ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata upacara, simbolik, atau mistis. Kedua, deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga, deskripsi tentang perilaku keagamaan berupa: (1) deskripsi ontologis, yakni memusatkan perhatiannya pada obyek kegiatan keagamaan, seperti kesucian dan kegaiban dalam hubungannya dengan Tuhan; (2) deskripsi psikologis, yakni perhatian diletakkan pada kegiatan kegamaan itu sendiri; (3) deskripsi dialektik, yakni menperoleh perhatian dalam hubungannya antara subyek dan obyek dalam kegiatan keagamaan. Dalam hal ini, peneliti bisa menekankan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga menfokuskan diri pada peran simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam mengalami dunianya.
Penelitian dengan corak naturalistik-fenomenologis telah dilakukan oleh para orientalis, khusunya dengan pendekatan fenomenologis dalam studi keagamaan. Misalnya Rudolf Otto, Goldzicher, dan Snouck Hurgronje. Khusus dalam meneliti agama Islam, hal-hal yang diteliti, antara lain adalah naskah atau teks Alquran, hadis-hadis Nabi, karya-karya ulama, dan sikap keislaman masyarakat.
Dalam penelitian keislaman, tampaknya sejalan dengan metodologi penelitian fenomenologis yang menekankan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bebas nilai, tetapi mempunyai hubungan dengan nilai (value bond). Penelitian harus berdasar pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, nilai efisiensi, dan efektivitas. Untuk mendalami penelitian keislaman, hendaknya menggunakan pendekatan fenomenologis yang dimulai dengan model etnografik-etnometodologik yang dilengkapi dengan model pradigma naturalistik dan interaksi simbolik untuk memperluas wawasan. Dengan hasil penelitian bercorak naturalistik-fenomenologis, akan melahirkan eksentuasi yang diteliti untuk senantiasa kompromi.

Konsep Dasar Peneltian Keislaman

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan yang dapat diperoleh suatu penelitian, tergantung pada nilai guna bagi yang hendak memanfaatkan hasil penelitian itu. Dari hasil penelitian itu, seseorang dapat menggunakannya untuk: (1) mengembangkan kerangka dan konsep teoritis disiplin ilmu yang digunakan, (2) tujuan praktis, seperti pengambilan kebijakan atau keputusan guna penataan kehidupan masyarakat yang hendak dibina dan diatur, sesuai dengan yang dikehendaki.
Meneliti fenomena keislaman, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Fenomena keislaman itu sendiri adalah perwujudan sikap dan prilaku manusia menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan beralasan dari suatu kegaiban dalam Islam.
Penelitian dalam lapangan keislaman, pada awalnya memerlukan ketepatan cara pandang untuk menemukan posisi yang sesungguhnya dari obyek hidup keislaman itu dalam masyarakat dan kebudayaan yang hendak diteliti. Aspek-aspek keislaman itu mempunyai arti dan kedudukan lain pada fenomena kehidupan sosial budaya lainnya.
Menurut Mattulada, ilmu-ilmu agama pada segi-segi yang menyangkut masalah sosial, menjadi bagian yang dapat diteliti dan diamati dengan menggunakan piranti atau metodologi ilmiah. Kalau segi-segi yang diamati itu berada pada posisi fenomena sosial, maka metode pengkajian yang digunakan adalah metode-metode ilmu-ilmu sosial. Bagi A. Mukti Ali, cara pengumpulan gejala-gejala keagamaan mirip dengan pengumpulan data-data dalam sosiologi. Meski demikian, pengumpulan datanya bukanlah sosiologi melulu, sebab umat bergama menafsirkan gejala-gejala dalam masyarakat itu menurut cahaya ajaran agamanya. Ini berarti, penelitian agama tidak bisa berdasarkan sosiologi melulu, tetapi juga berdasarkan ajaran-ajaran agama yang mendorong lahirnya gejala-gejala itu. Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa fenomena agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karenanya, tidak ada persoalan, apakah penelitian keagamaan itu termasuk dalam penelitian ilmu sosial, penelitian budaya, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.
Islam sebagai sasaran penelitian budaya, tidak berarti bahwa Islam yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian budaya. Sebagai contoh adalah penelitian Hasan Muarif Ambary tentang studi arkeologi di Samudra Pasai dan Brunei Darussalam yang dapat menggambarkan keberadaan kedua kerajaan Islam tersebut. Proses penelitian yang dilakukan Ambary adalah meneliti makam raja-raja Muslim yang ada di kedua wilayah itu. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kedua kerajaan itu memiliki kontak budaya dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Mataram dan China.
Islam sebagai sasaran penelitian sosial, tidak terlepas dari kajian sosiologi agama. Salah satu metode penelitian sosial yang digunakan dalam penelitian agama adalah grounded research, yaitu suatu metodologi penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik, dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Sebagai contoh adalah konflik dan integrasi yang terjadi dalam masyarakat Bugis Amparita. Penelitian ini menelusuri tiga kelompok keagamaan, yaitu orang-orang Islam, orang-orang Towani Tolotang, dan orang-orang Tolotang Benteng di Amparita, Sulawesi Selatan. Dalam berinteraksi satu sama lain, terkadang dalam bentuk konflik, terkadang dalam bentuk kerja sama, dan terkadang pula dalam bentuk integrasi.
Pada penelitian keislaman sebagai gejala sosial, masalah sedikit lebih kompleks dan diperlukan sistematika, ketimbang pada saat meneliti Islam sebagai gejala budaya. Dikatakan demikian, sebab penelitian ilmu sosial berupaya meletakkan dirinya mendekati penelitian kealaman, atau sekurang-kurangnya terletak antara penelitian budaya dan penelitian kealaman. Dengan demikian, desain penelitian agama sebagai gejala sosial, akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati, sebelum sampai kepada kesimpulan.
Sebagai contoh adalah penelitian tentang Pandangan Ulama terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi IUD dalam Program Keluarga Berencana. Signifikansi penelitian ini adalah memberi pengertian kepada umat Islam mengenai pandangan ulama tentang KB, terutama dalam penggunaan alat kontrasepsi IUD (spiral).
Untuk meneliti masalah di atas, ada empat hal yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: Pertama, merumuskan masalahnya, termasuk operasionalisasi konsep dari masalah yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga, cara melakukan pengumpulan dan analisis data. Keempat, studi pustaka, yang berguna untuk mengetahui studi apa saja yang pernah dilakukan yang berbicara menegenai pandangan ulama tentang KB.
Antara IUD dengan alat kontrasepsi lain, seperti kondom dan pil (obat yang diminum), tentu memiliki status hukum yang berbeda. Kedua alat kontrasepsi yang disebutkan terakhir, tidak terkait persoalan aurat. Berbeda dengan IUD, dalam pemasangannya, harus berhadapan dengan ketentuan hukum mengenai “larangan melihat aurat wanita”. Di sinilah dilihat kemampuan peneliti dalam memilih responden dan menganalisis dua masalah yang saling bertentangan, yaitu larangan melihat aurat wanita dan kebolehan memasang IUD bagi pserta KB wanita.

Islam Sebagai Obyek Penelitian

Selama ini masyarakat sudah mengenal Islam, tetapi belum jelas potret Islam yang telah dikenal tersebut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan oleh Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan oleh Fazlur Rahman yang bernuansa historis dan filosofis. Demikian pula, Islam yang ditampilkan oleh pemikir-pemikir dari Iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Husain Nasr, dan Murthadha Muthahhari.
Kenyataan tersebut memperlihatkan adanya dinamika internal di kalangan umat Islam untuk menerjemahkan Islam dalam upaya merespon berbagai masalah umat yang mendesak. Titik tolak dan tujuan mereka sama, yakni ingin menunjukkan konstribusi Islam sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan berbagai masalah umat. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang dapat dilihat dari sisi mana saja, dan setiap sisinya akan senantiasa memancarkan cahaya yang terang.
Dari berbagai sumber kepustakaan tentang Islam yang ditulis oleh para tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang teologi, ibadah, muamalah yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, kesehatan, dan sejarah.
Menurut Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, obyek yang dikaji dalam dunia Islam, bila dilihat pada tataran keberagaman, Islam dapat diwujudkan pada lima dimensi, yaitu dimensi idiologis, dimensi intelektual, dimensi eksperiansial, dimensi ritualistik dan dimensi konsekuensial.
Pada dimensi indiologis, Islam merupakan konsep keprcayaan terhadap Tuhan dalam hubungan-Nya dengan manusia dan alam. Pada dimensi ini, Islam tampak sebuah konsep yang sarat dengan berbagai aturan. Pada dimensi intelektual, Islam tampak pada sebuah konsep pemikiran keagamaan yang lahir dari kultur yang diakibatkan oleh dinamika pemikiran umat Islam. Pada dimensi eksperensial, Islam dapat dilihat keterlibatan emosional dan sentimentil oleh para pengikutnya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pada dimensi ritualistik, Islam tampak pada pelaksanaan ibadah ritual-formal pemeluknya. Sedangkan pada dimensi yang terakhir, Islam tampak sebagai suatu konsep yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial bagi pengikutnya.
Berdasarkan dengan dimensi-dimensi tersebut, maka dalam penelitian ke-Islaman, tidak cukup jika hanya menggunakan satu metode, karena Islam bukan agama yang mono-dimensi. Islam bukan hanya didasari pada intuisi mistik dari manusia, melainkan Islam adalah agama yang universal, yakni segala aspek kehidupan di dunia terakomodir dalam Islam.
Penelitian ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari berbagai aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam normatif dimaksudkan adalah penelaahan lebih jauh ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi pada lahirnya aturan-aturan normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek normatif adalah pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar perkembangan masyarakat muslim semakin maju. Sementara pengkajian non-normatif adalah pengkajian terhadap aspek antropologis, sosiologis, dan historis umat Islam itu sendiri.
Dampak langsung dari gairah atau kesadaran penelitian ke-Islaman adalah penyegaran khazanah intelektualitas dalam Islam dengan pengkajian yang sistematis dan struktur yang berampak pada pencerahan terhadap iklim sportivitas ilmiah dalam Islam. Hal ini berdampak langsung kepada gairah umat Islam untuk kembali mengkaji Alquran dan Hadis Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Dalam keadaan demikian, Alquran dan Hadis Nabi tidak hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-mabawiyah, tapi dapat dijadikan sebagai sumber teori.
Penelitian terhadap Alquran bukan mempertanyakan kebenaran Alquran sebagai wahyu, tetapi mengkaji Alquran akan melahirkan sejumlah bidang. Kajian itu meliputi proses turunnya Alquran, termasuk faktor sosiologis dan kultural masyarakat pada saat Alquran diturunkan. Kajian ini melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, dan sejarah.
Demikian halnya dengan penelitian terhadap Hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang tersebar dalam berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap sanad dan matan-nya untuk membuktikan bahwa riwayat itu betul-betul berasal dari nabi. Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar