Rabu, 01 Juni 2011

"MEMBUKA" JALAN IJTIHAD

OLEH: MUH. IKHSAN AR.
Akhir abad ke-19 lahir sebuah gagasan tentang perlunya ijtihad. Namun, dibalik itu masih ada satu pergumulan pemikiran antara mereka yang berpendapat bahwa tidak ada lagi orang yang patut menjadi mujtahid selain empat imam mazhab besar dan kaum reformis yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tutup. Pendapat pertama mengharuskan kaum muslimin untuk mematuhi fatwa-fatwa ulama dari kalangan mazhab yang masyhur.
Saat ini, muslim dihadapkan pada sebuah fakta bahwa mereka hidup dalam tradisi kebudayaan yang kompleks. Sementara di sisi lain, banyak diantara mereka yang masih berpola pikir bahwa pembentukan budaya harus didasarkan pada aqidah islam bukan pada yang lain. Muslim masih khawatir bahwa mereka akan kehilangan otentisitas dan pola identifikasi budaya islam yang primer jika menebarkan kreasi-kreasi kebudayaan.
Jamal al-din al-Afghani (1839-1897) pemikir muslim dari Iran dan koleganya Muhammad Abduh (1849-1905) dari Mesir, sama-sama menganggap bahwa faktor utama keterbelakangan umat Islam adalah karena sejak abad ke-9 pintu ijtihad telah ditutup oleh para ulama sehingga kesempatan untuk menggali Al-Qur’an dan As-sunnah terhenti. Padahal tradisi dan khazanah intelektual yang dimiliki umat Islam saat ini sesungguhnya merupakan hasil pencarian budaya melalui langkah ijtihad dan bukan semata-mata keluar dari kebenaran iman saja. Jadi, langkah untuk kembali kepada terbukanya pintu ijtihad merupakan karya pemurnian kembali kepada pemahaman Islam masa-masa permulaan dari beban historis yang ada.
Selanjutnya dalam perkembangannya pemikiran pemikiran tokoh Islam pasca ‘pintu ijtihad terbuka’ dapat dikelompokkan dalam dua corak : cenderung melakukan konservasi budaya secara total berdasarkan orientasi sejarah dengan tetap mempertahankan dogmatis aktual dan pemikiran yang berorientasi ke depan melalui upaya riset untuk menciptakan warisan budaya islam dalam sebuah horizon baru. Dasar pemikiran yang kedua bahwa Al-Qur’an, As-sunnah dan perkembangan ummat selalu mengalami dialektika sama ada situasi mahupun pemikiran baru dari luar. Pemikiran ini akibatnya menghajatkan perumusan struktur budaya modern yang tidak menafikan hubungannya dengan sejarah dan tradisi Islam : yakni memberikan ruang bagi dialektika antara pemahaman wahyu dengan pergulatan faktor-faktor kebudayaan kaum yang berbeda-beda.
Pemikiran kontemporer di Indonesia
Dalam berbagai literature dan diskusi, masih sering munculk dikotomi antara modernis versus tradisionalis islam di Indonesia. Kalangan yang dianggap modernis dianggap mewakili pemikiran reformasi Muhammad Abduh yang rasional liberal yang kemudian bertemu dengan arus wahabiah yang skiptural formal dan neo-modernisme sebagai buah dari banyaknya sarjana Indonesia yang pulang menuntut ilmu di Barat, terutama di amerika. Sementara itu kuatnya paham mazhab yang dilestarikan para ulama melalui pendidikan pesantren, oleh sebagian pengamat, dikelompokkan sebagai tradisionalis Islam.
Di Indonesia, Prof. Harun Nasution ikut membuka sejarah pemikir Indonesia. Basis studi Mu’tazilah yang diajarkannya kepada mahasiswa IAIN Jakarta telah menghadirkan generasi intelektual yang elegan dalam berfikir dan dapat menerima pendapat rasional bagi pemahaman Islam. Menurutnya, jika seorang muslim mengambil posisi sebagai Asy’ariyah maka akan menganggap Mu’tazilah itu salah, dan begitu juga sebaliknya. Selanjutnya Prof. Harun memberikan saran : “…yang harus kita lakukan adalah mempelajari Mu’tazilah, mempelajari Asy’ariyah dengan baik dan kemudian mengambil pendapat sendiri” (Jalaluddin Rakhmat:1989).
Sementara di Yogyakarta ada Prof. Mukti Ali yang melontarkan ide tentang perlunya merumuskan metodologi penelitian agama. Menurutnya, agama tidak harus dilihat sebagai realitas social belaka tetapi juga menrupakan ungkapan iman atau bathin seseorang. Ketika ia menjadi Menteri agama RI ada tiga hal yang dilakukannya: membangun image bahwa Islam adalah agama yang modern; memodernisasikan lembaga-lembaga tradisional islam dan membuka pintu ijtihad dengan pengkaderan sarjana Islam melalui jalur IAIN (UIN, red). Kemudian disisi lain, Prof. HM Rasyidi yang mengambil posisi untuk meredam pemikiran-pemikiran sarjana Islam Indonesia yang berbau barat.
Lahirnya para pemikir-pemikir modernis itu sesungguhnya bermuara pada keinginan ummat Islam bangsa Indonesia terhadap terwujudnya sebuah lembaga yang mampu mengakomodasi semua mimpi para pemikir Islam sebagai satu pusat kajian Islam.
Ala kulli hal, Tafakkur memang mengajak orang naik ke abstraksi yang tinggi, supaya ia turun ke bumi dengan petunjuk yang konkret. Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya revolusi konseptual sebelum revolusi fisik, karena agama adalah ketulusan. Tindakan yang tidak didahului tafakkur sama jeleknya dengan tafakkur yang tidak disusul dengan tindakan. Seorang muslim dituntut bertindak secara sadar, dengan menggunakan seluruh potensi intelektualnya. Karena itulah Al-Qur’an bertanya : “katakanlah, Apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat ? Apakah kamu tidak memikirkan(nya) ? (QS: Al-An’am :50).
Dengan lain perkataan, Al-Qur’an dan Sunnah bermaksud membawa kita kepada sebuah transformasi sosial yang disertai kesadaran, bukan kepada rekayasa sosial yang dipaksakan. Tafakkur pun bertahap, sejak renungan sejenak sampai kepada pengkajian yang mendalam. The American Heritage Dictionary menjelaskan reflection sebagai konsentrasi pikiran atau pemikiran yang cermat dan hasil dari pemikiran itu sangat tergantung dari: dapat dikomunikasikan ataupun tidak.

Wallahu a'lam bi al-shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar