Rabu, 04 Mei 2011

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

1. Hadits Sebagai Sumber Hukum ke-2
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an. Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an, tidak lepas dari salah satu dari tiga fungsi:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”---- dan seterusnya ---- (Riwayat Bukhari - Muslim).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.”
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.” (H.R. Bukhari - Muslim).
2. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam telah ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaianya dalam As-sunnah / Al-hadits. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan karena hukum dan cara pengamalannya itu benar-benar terjadi dimasa Nabi SAW. Sehingga memerlukan ijtihad perorangan maupun kelompok yang terwujud dalam bentuk ijma’ ulama atau pedoman lainnya sepanjang bertentangan dengan jiwa syariat.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Nabi SAW. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas bai’at Mu’adz bin Jabal, seorang sahabat yang diangkat menjadi duta penuh untuk negeri Yaman, bahwa ia berpedoman kepada Al-Qur-an kemudian Al-hadits / As-sunnah, dan akhirnya ijtihadnya sendiri, sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Disamping itu Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar mentaati Rasul-Nya sebagaimana mentaati Allah sendiri, dan berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya sebagaimana Firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr : 7 “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu terimalah dan jalankanlah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul, maka tinggalkanlah.”
Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat tersebut dapat dibaca dalam Q.S Ali Imran ayat 31, Al-Ahzab ayat 21, Al-Nisa’ ayat 64 dan sebagainya.
Nabi sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa disamping Al-Qur’an, juga masih terdapat pedoman yang sejenis dengan Al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan. Sebagaimana sabda Beliau yang artinya: “Wahai umatku, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang menyamainya.” (H.R. Abdu Dawud, Ahmad dan At-Turmudzi). Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) Al-Qur’an itu adalah As-Sunnah / Al-Hadist, yang merupakan pedoman untuk diamalkan dan ditaati sejajar dengan Al-Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Mengapa tingkatan / kedudukan As-sunnah / Al-hadist berada dibawah tingkatan Al-Qur’an? Dalam hal ini As-Syathibi memberikan argumentasi, bahwa:
(1) Al-Qur’an diterima secara Qath’i (meyakinkan), sedangkan Hadist diterima secara Dhanni, kecuali Hadist Mutawattir. Keyakinan kita kepada Hadist hanyalah secara global, bukan secara detail (Tafshili), sedangkan Al-Qur’an, baik secara global maupun secara detail, diterima secara meyakinkan.
(2) Hadist adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-Qur’an, adakalanya memberi komentar terhadap Al-Qur’an, dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam Al-Qur’an. Jika hadist itu berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap Al-Qur’an, maka sudah barang tentu keadaannya (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang diberi penjelasan / komentar yang pokok (Al-Qur’an) pasti lebih utama daripada yang memberi komentar (Al-Hadits).
(3) Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut yakni Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an sebagaimana dialog Nabi SAW dengan Mua’adz bin Jabal.
Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah bahwa posisi As-Sunnah / Al-Hadits itu berada dibawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Dengan demikian Al-Qur’an Qath’iyyul Wurud, baik secara global (Ijmali) maupun terperinci (Tafshili). Sedangkan Hadits / As-Sunnah sampai kepada umat Islam tidak semuannya Mutawattir, tetapi kebanyakan diterima secara Ahad, kebenarannya Qath’i secara global (Ijmali) dan Dzanni secara rinciannya, karena masih banyak Hadits yang tidak sampai kepada umat Islam, disamping banyak pula Hadits-hadits Dlaif.
3. Perbedaan Hadits Qudsi dan Al-Qur’an
Rasulullah kadang kala menyampaikan pelajaran atau memberi nasehat, yang dihikayatkan / diceritakan dari Tuhannya, Kepada para sahabatnya. Pelajaran-pelajaran itu bukan merupakan wahyu yang diturunkan sebagaimana Al-Qur’an dan bukan merupakan perkataan yang jelas-jelas disandarkan secara langsung kepada dirinya, sebagaimana Hadits pada umumnya. Tetapi pelajaran-pelajaran itu merupakan Hadits-hadits yang diungkapkan oleh Nabi dengan ungkapan yang dinisbatkan kepada Allah, untuk memberi isyarat bahwa amalannya yang utama itu diceritakan dari Allah dengan Uslub (susunan kalimat) yang pada lahiriyahnya benar-benar berbeda dengan Uslub Al-Qur’an. Disamping itu amalan tersebut merupakan pemberian atau hembusan dari alam kesucian, cahaya dari alam ghaib dan anugerah dari Yang Maha Mulia lagi dimulyakan.
Jadi Hadits Qudsi atau Hadits Rabbany atau Hadits Illahi, ialah: “Sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata Beliau sendiri.”
Adapun bentuk kalimat (Shighat) yang biasa dipakai oleh Ulama Salaf dalam periwayatan Hadits-hadits Qudsi, adalah “Qaala Rasulullah SAW : Fiima Yurwa’an Rabbihi” (Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Tuhannya). Sedangkan Ulama’ Khalaf memiliki cara tersendiri yaitu “Qaalallahu Ta’la Fiima Rawaahu’anhu Rasulullah SAW.” (Allah berfirman sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Tuhan).
Perbedaan antara keduanya, menurut Dr. Syu’ban Muhammad Ismail, adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an tiada lain hanyalah wahyu Jaly, yakni Al-Qur’an itu diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW. yang berada dalam kondisi sadar, dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Beliau melalui ilham atau impian. Sedangkan Hadits Qudsi bisa diwahyukan melalui Wahyu Jaly atau Wahyu Khafy (melalui impian dan ilham).
2. Al-Qur’an merupakan mu’jizat sehingga tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya (Q.S. al-Isra’ : 88), dan ia terjaga dari perubahaan dan pengganti atau terpelihara kemurniannya, karena dijaga oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9 “Sesungguhnya telah Kami turunkan peringatan (Qur’an) dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
3. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak berlaku bagi Al-Hadist, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang berhadast dan bagi orang yang junub dilarang menyentuh dan membacanya. Sedangkan Hadist Qudsi tidak ada pantangannya.
4. Bagian-bagian Al-Qur’an disebut dengan ayat dan surat, sedangkan Hadist-hadist Qudsi tidak demikian.
5. Al-Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat, dan tidak sah shalat seseorang (yang mampu membacanya) bila tidak membaca Al-Qur’an. Sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian.
6. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, baik mengerti ataupun tidak memahami artinya, dan diberi pahala bagi pembacanya. Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
7. Tidak diperbolehkan meriwayatkan Al-Qur’an dengan maknanya saja (Riwayat Bil Makna), sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
8. Al-Qur’an dinukilkan kepada kita dengan jalan Mutawatir dari Nabi SAW, sedang Hadist Qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW.

STUDI HADIS : DARI ‘SUNNAH YANG HIDUP’ KE BENTUK VERBAL ( Sebuah Pendekatan Sejarah)


A. Pendahuluan
Sejak wafatnya Muhammad Rasulullah s.a.w., persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi wacana pasca “kepergian” Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi selanjutnya, yakni di masa tabiinn, kodifikasi al-Qur’an semuanya disandarkan atau dinisbatkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa kerkataan, perbuatan, dan taqrirnya, yang disebut hadis atau sunnah.
Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a. tidak menemukan banyak kendala kerena tugas panitia kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat r.a. untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari Nabi dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual1).Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan..
Untuk menghimpun hadis-hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah2). Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensilain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah perkembangan hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para mukharrij (peneliti/kolektor hadis). Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Prof. Hasbi ash-Shidieqy (1987) dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah hadis, yang kata Hasbi, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks. Mempelajari sejarah perkembangan hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis3).
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam4).
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat, masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.
Bahwa hadis telah telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah5).
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hakl itu untuk lebih mendalami ajaran Islam6).
Meraka para sahabat tidak sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.7) Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah 8) , sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas9).
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka10).
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan11). Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi12). Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa13).
Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis, bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah : Pertama, mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).
Kedua, sebagaimana telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding menghafal hadis. Dan ketiga, Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.14)
Akan tetapi Muh. Zuhri15) mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan Prof. al-A’zami, menyatakan bahwa semua hadis yang menyebut larangan penulisan hadis itu dha’if kecuali hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri jalur dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasir, dari Abu Said al-Khudri. Redaksi yang sama dari jalur yang lain dinyatakan dha’if. Sebuah hadis yang sahih ini pun diragukan, apakan marfu’ atau hanya ucapan Abu Said sendiri. Al-A’zami setelah mengadakan penelitian seksama, berkesimpulan, andai hadis ini marfu’, maka dalam konteks larangan penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu buku.
Al-A’zami membantah pendapat bahwa para sahabat dilarang menulis karena kebanyakan mereka tidak dapat menulis. Banyaknya sekretaris al-Qur’an menggambarkan banyaknya sahabat yang pandai menulis. Andaikata kebanyakan mereka tidak pandai menulis, tidak perlu Nabi menyebut pelarangan menulis Hadis, karena dengan sendirinya mereka tidak menulis16).
Apakah benar hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku17).
Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmad18) berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum Muslim kala itu adalah hadis. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghafal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi s.a.w. Ada diantara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali r.a., seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushhaf di luar al-Qur’an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Nabi. Abdullah bin Amr bin Ash juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. ‘Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadis (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah mengumpulkan catatan-catatan hadis yang berserakan dan membakarnya.

C. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar19) (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M)20).
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis21). Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkanseorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan al-Mughirah tersebut22).
Kasus dia atas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan ‘Aisyah, Abu menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis23). Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis.
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.24)
Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an25). Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar26).
Gerakan pengetatan periwaytan hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu, oleh Rasm Ja’farian telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa27).
Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman28) sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadis menjadi sangat besar.
Bagaimana dengan kegiatan khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib? Dari beberapa sumber yang dapat menjelaskan tentang hal itu, dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir- sebagaimana dua khalifah sebelumnya- melakukan pula gerakan pengetatan hadis. Walaupun tidak seketat dan seradikal apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar maupun Umar bin al-Khaththab. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar bin al-Khaththab, dan juga karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya kontrol yang ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Sehingga pengaruhnya bagi perkembangan hadis ; banyak (baca : lebih banyak dibandingkan pada era dua khalifah awal) aktivitas periwayatan hadis pada era itu.
Secara pribadi Utsman jauh lebih sedikit meriwayatkan hadis29), dibanding dengan empat khalifah yang lain. Sedangkan Ali30) dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis31). Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah Ali.
Beberapa sahabat32) Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :
Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadis33).
Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadis34).
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Pada periode sahabat ini telah muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak mudah untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain…”35)
Dalam kasus lain, Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga subuh, maka puasanya tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada ‘Aisyah, ia menolak hadis tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi berpuasa, ia mandi jinabat setelah masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan berpuasa mendengar kritik itu Abu Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini, dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat lain36).
D. Munculnya Hadis-Hadis Maudhu’ (Palsu)
Hadis Nabi yang belum ditadwin (dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan – untuk dipalsukan – oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan baik politis, ekonomis, maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang –menurut sabda Nabi terkutuk (fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)-sangat merugikan dunia Islam.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan, bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis37). Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang telah dipalsukan tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih dalam tataran asumsi.
Shahal ad-Din al-Adhabi, menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang berkenaan dengan maslah keduaniawian telah terjadi pada masa Nabi dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan yang berkenaan dengan maslah agama (amr dini), pada zaman nabi belum terjadi. Alasannya, ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku diberi kuasa Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasi berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang yang mengatasnamakan beliau38).
Pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hadis39). Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai terjadinya pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindah dari pemalsuan-pemalsuan. Perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin) telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima Ali telah mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa, dan mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai kelompok khawarij. Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit itu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali digantikan oleh Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan mendirikan daulah bani Umayah40).
Runtuhnya kekuasaan Ali tidak menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah. Pertikaian segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling mengalahkan, yang salah caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk mengukuhkan kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non Islam membuat hadis palsu41), karena didorong oleh keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang Islam meriwayatkan hadis palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif. Motif itu ada yang bernuansa duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif orang-orang Islam itu adalah; 1) membela kepentingan politik42), 2) membela aliran teologi, 3) membela madzab fiqih43), 4) memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5) menjadikan orang lain lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan ibadah, 6) mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9) mendapatkan hadiah uang dari orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu.
Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia telah membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia ingin memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang mengaku bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk membuat sebanyak lima puluh hadis palsu43).
Prof. Muhammad Zuhri44), mengidentifikasi orang-orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis, diantaranya ; Abban ibn Ja’far al-Numairi, Ibrahim ibn Zaid al-Aslami, Jabir ibn Yazid al-Ja’fi, Muhammad ibn Syuja’ al-Laitsi, Nuh ibn Abi Maryam, Al-Harits ibn Abdillah al-A’war, Ahmad ibn Abdullah al-Juwaibari.
Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ulama hadis menyusun berbagai kaedah penelitian hadis. Kaedah-kaedah yang mereka susun, tujuan utamanya adalah untuk penelitian keshahihan matan hadis tersebut, maka disusunlah kaedah keshahihan sanad hadis. Dalam konteks ini, munculah berbagai macam ilmu hadis. Yang paling urgen kedudukannya dalam penelitian sanad hadis, diantaranya adalah ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil45). Ilmu yang disebut pertama lebih banyak membicarakan biografi para periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam periwayatan hadis. Sedang ilmu yang disebut kedua, lebih menekankan kepada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari segi kekuatan hafalannya (dhabith), kejujurannya (tsiqah), dan berbagai keterangan lain yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.
E. Proses pen-tadwîn-an hadis
Andaikata Umar bin Khaththab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan hadis. Akan tetapi Umar, sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.
Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan46), sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan47).
Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M). Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia48). Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya49).
Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H)50), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)51).
Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min Umur Rasul Allah SAW wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah SAW” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)52).
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)53).

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I
Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II
Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I
Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963
Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t.
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I
Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24
an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965.
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196.
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I
Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003
Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954
Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999
Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002
Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960


1) Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t., h.4

2) M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000, h. 2
3) Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999, h.26
4) Ibid., h.26-27
5) Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965. h. 45-46
6) Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003, h. 28
7) Dalam sebuah hadis dikisahkan Umar bin Khaththab telah memberi tugas kepada tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka segera ia menyampaikan kepada yang tidak bertugas. Lihat al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I h. 28. Dalah kisah yang lain Malik bin al-Huwairis menyatakan : Saya (Malik bin al-Huwairis bersama rombongan kaum saya datang kepada Nabi. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Ketika beliau melihat kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, beliau bersabda :” Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka. Bila telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam. Lihat : Ibid., h. 117.
8) Abu hurairah telah meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah, yang terdapat dalam Shalih Bukhari 446 buah. Jumlah ini jauh melebihi hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain. Abu Bakar “hanya” meriwayatkan 142 hadis, Umar meriwayatkan 437 hadis, Usman meriwayatkan 146 dan 586 telah diriwayatkan oleh Ali. Inilah yang menyebabkan ada sebagian ulama yang “curiga” dengan periwayatan hadis oleh Abu Hurairah yang sedemikian banyak, salah satunya adalah Sharafuddin al-Musawi. Dia menyatakan bahwa tidak masuk akal jika Abu Hurairah yang bersama Nabi hanya 2 tahun (sebelum Nabi maninggal) mampu meriwayatkan hadis melebihi para sahabat yang 23 tahun bersama Nabi. Lihat Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002, h.53-60
9) H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, h.38
10) Lihat Q.S. al-Ahzab : 21; al-Qalam:4; Ali Imran:132; al-Anfal:46; an-Nur:54; dan al-Hasyr:7
11) Lihat Q.S. al-‘Alaq:1-5; dan az-Zumar:9
12) Lihat hadis Nabi yang terdapat dalam al-Bukhari, op.cit., Juz I, h.23
13) Nabi bersabda :”Telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya” (HR. Muslim dan al-Hakim dari Abu Hurairah). Hadis ini dan berbagai pernyataan sahabat yang semakna dengannya, dinyatakan oleh an-Nawawi (1277) sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Jika semua yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan berita bohong. Lihat : an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I, h.75
14) Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h.34
15) Muh. Zuhri, op.cit., h.34
16) Lihat al-A’zami, Studies in Early Hadits Literature, h. 106-116. Dinulil dari Muh. Zuhri, ibid., h. 34-35
` 17) Fazlur Rahman, op.cit., h.34-57
18) Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994, h. 228-229. Bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h. 36
19) lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I, h. 57-58; bandingkan dengan Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954, h.103
20) Muhammad al-Khudhari, Ibid., h.131 dan 134-135. Dinukil dari H.M. Syuhudi Islamil, op.cit., h.41
21) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I, h. 2
22) Hadis yang dikemukakan oleh al-Dzahabi tersebut diriwayatkan (di-takhrij) oleh banyak ulama, di antaranya oleh Malik bin Anas, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-darami, dan al-Marwazi. Para periwayat dalam sanad hadis itu berkualitas tsiqah, akan tetapi sanadnya munqathi’, dalam hal ini mursal. Jadi, kualitas sanad hadis itu lemah (dha’if), karena Qubaisyah bin Dzu’aib yang menyatakan menerima hadis dimaksud berasal dari Abu Bakar, menurut penelitian sebagian ulama hadis, ternyata tidak pernah bertemu dengan Abu Bakar. Tetapi menurut al-Dzahabi, Qubaisyah telah meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar. Dengan demikian hadis tersebut muttashil sanadnya. Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., 42
23) Lihat al-Dzahabi, op.cit., h.5
24) Ibid., h.8
25) Lihat Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II, h.12 diambil dari HM. Syuhudi Islmail, op.cit., h.45
26) al-Dzahabi, op.cit., juz I, h.7. Bandingkan dengan Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I, h.121
27) lihat Jalaluddin Rakhmat, op.cit., h. 229-230
28) Lihat : Fazlur Rahman, op.cit., h. 23-27
29) Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis dari Utsman bin Affan sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu adalah hadis tentang tata cara berwudhu. Lihat Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I, h. 57-75
30) Ali bin Abi Thalib cukup banyak meriwayatkan hadis, labih banyak dibanding tiga khalifah yang lain. Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan hadis melalui riwayat Ali sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian hadis itu berulang-ulang karena perbedaan sanadnya. Lihat Ibid., h. 75-180
31) Hadis riwayat Ali yang tertulis berkisar tentang 1) hukuman denda (diyat) 2) pembebasan orang Islam yang ditawan orang kafir dan 3) larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Lihat al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 32; juz II, h. 178
32) Definisi sahabat dalam konteks ini mengacu kepada orang yang semasa hidupnya pernah semasa dan berjumpa dengan Nabi, mereka beriman kepada Nabi dan mati sebagai orang Islam. Lihat : Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I, h.131. Bandingkan dengan Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963, h.387. Jika difinisi yang diambil, jumlah sahabat sangat banyak, maka al-Naisaburi membagi para sahabat dalam beberapa kelompok (sesuai dengan tingkat keutamaan : 1) Sahabat yang masuk Islam di Makkah, seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dll; 2) Sahabat yang tergabung dalam Dar al-Nadwah; 3) Sahabat yang ikut hijrah ke Habsyi; 4) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Ula; 5) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Tsani; 6) Muhajirin yang menemui Nabi di Quba 7) Sahabat yang terlibat dalam perang Badar pertama; 8) Sahabat yang hijrah diantara Badar dan Hudaibiyah; 9) Kelompok Baitur Ridhwan; 10) Sahabat yang hijrah antara Hudaibiyah dan al-Fath, seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abu Hurairah dll; 11) para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah pada waktu penaklukan Makkah dan Haji Wada’ atau di tempat-tempat lain. Lihat : Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24
33) Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 50
34) Ibid.
35) Demikianlah, ‘Aisyah dengan tegas menolak periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Walaupun begitu, hadis yang tertolak ini masih saja tercantum dalam kitab-kitab shahih. Bahkan Ibn Sa’d, dalam bukunya ath-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulang dengan sanad yang berbeda. Lihat : Muhammad al-Ghazali, op.cit., h.29
36) Lihat : Muh. Zuhri, op.cit., h.46-47
37) Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974, h.210-211
38) Dalam hadis tersebut baik yang diriwayatkan al-Thahawi maupun al-Thabrani, ternyata sanadnya lemah (dha’if). Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 105
39) Lihat : Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 57
40) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Universitas Indonesia, 1985, h. 54
41) Yang terkenal dari hadis ini adalah hadis-hadis israilliyat. Contoh hadis-hadis Israilliyat berkaitan dengan hadis tentang penciptaan Adam dan Hawa, sampai proses kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga. Lihat : Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999, h. 55-79
42) Contoh hadis model ini adalah “Orang-orang yang dapat dipercaya di hadirat Allah hanya ada tiga orang : aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Lihat : Syarafuddin Al-Musawi, op.cit., h.41; bandingkan dengan HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109
43) Contoh hadis model ini adalah “di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Muhammad bin Idris. Dia itu lebih berbahaya terhadap umatku daripada iblis. Dan di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal bernama Abu Hanifah. Dia itu merupakan obor bagi umatku.” Lihat Ibid.
43) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109. Dia mengutip keterangan itu dari Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I, h.284-286
44) Muh. Zuhri, op.cit., h.79
45) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.110; bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h.79-81
46) Dia juga dikenal sebagai orang yang zuhud (tidak seperti kebanyakan khalifah bani umayyah yang lain), adil, dekat dengan ulama dan juga periwayat hadis, walaupun hadis yang diriwayatkannya tidak banyak. Sufyan asy-Syafri dan asy-Syafi’i menyebut khalifat Umar bin Abd al-Aziz sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang kelima. Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.113
47) Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I, h. 194-195
48) Ibid.
49) Ibid., h. 208
50) karya malik bin Anas yang dikenal dengan nama al-Muwaththa’ tersebut sampai sekarang masih ada. Di dalamnya terdapat 1726 hadis dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Menurut hasil penelitian dari jumlah hadis itu terdapat 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285 maqthu’. Dari segi sanad, hadis yang terkandung di dalamnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Kemudian bila dikonfirmasikan dengan hadis yang ditulis Bukhari dan Muslim, maka diketahui bahwa matan al-Muwaththa’ itu shahih. Lihat Muh. Zuhri, op.cit., h 59. Ignas Goldziher tidak menyetujui karya Malik itu sebagai kitab hadis, dengan alasan antara lain ; 1) belum mencakup seluruh hadis yang ada, 2) lebih menekankan pada hukum dan pelaksanaan ibadah, serta kurang mengarah kepada penyelidikan dan penghimpunan hadis, dan 3) tidak hanya berisi hadis emata, tetapi juga berisi fatwa sahabat (fatwa al-tabi’in) dan konsensus masyarakat Islam di Madinah. Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196.
51) HM. Ismail Syuhudi, op.cit., 115
52) Ibid., h. 116

53) Lihat Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960, h. 117-119