Jumat, 08 April 2011

Metode Dan Pendekatan Dalam Ilmu Perbandingan Agama


by Muh. Ikhsan AR.

Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk Allah selalu menghadapi banyak tantangan. Kemajuan serta eksistensi manusia itu sendiri sangat bergantung kepada tekad manusia untuk menjawab tantangan dan kesanggupan manusia untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam hidupnya. Penelitian memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan baru dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah. Penelitian akan menambah ragam pengetahuan lama dalam memecahkan masalah.
Kerja memecahkan masalah akan sangat berbeda antara seorang ilmuwan dan seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subjektif. Sebaliknnya bagi orang awam, kerja memecahkan masalah dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap masuk akal oleh banyak orang.
Dalam meneliti, seorang ilmuwan dapat saja mempunyai teknik, pendekatan ataupun cara yang berbeda dengan seorang ilmuwan lainnya. Tetapi kedua ilmuwan tersebut tetap mempunyai satu falsafah yang sama dalam memecahkan masalah, yaitu menggunakan metode ilmuwan dalam meneliti. Seperti diketahui, ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh suatu interelasi yang sistematis dari fakta-fakta. Metode ilmiah adalah suatu pengejaran (pursuit) dari ideal ilmu itu.
Sebagai penelitian terhadap bebagai agama, penelitan perbandingan agama masih menghadapi persoalan metodologis. Artinya bagaimana standar-standar yang digunanakan dalam mengukur variabel-variabelnya belum ditemukan formulasi yang disepakati para ahli perbandingan agama. Namun demikian metodologi bagi penelitian ini tetap sangat dibutuhkan para peneliti dan pengkajinya.
Dalam melakukan analisis data penelitian perbandingan agama dapat digunakan tiga metode.
Pertama, simetris, dalam hal ini seorang peneliti melakukan perbandingan setelah masing-masing konsep, ajaran, pandangan, atau realitas diuraikan secara lengkap. Dalam hal ini harus ada penegasan mengenai hal yang dibandingkan apakah penampakan yang kongkrit atau sampai pada dasar-dasar ajaran agama.
Kedua, asimetris, yaitu analisis yang dimulai dengan menguraikan ajaran, konsep-konsep dan pandangan pertama, kemudian sambil memberikan deskripsi tentang ajaran, konsep-konsep dan pandangan kedua, langsung dibuat perbandingan dengan agama yang pertama diuraikan.
Ketiga, perbandingan segitiga, yaitu suatu analisis perbandingan dengan membandingkan ajaran, konsep, dan pandangan ketiga yang mungkin lebih lengkap dan melakukan tinjauan dari sudut lain. Dengan demikian akan jelas apa yang dimaksud dengan dua yang sedang dibandingkan.
Bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulkan, serta sumber data. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) eksploratif, (b) deskriptif, (c) historis, (d) kerelasional, (e) eksperimen, (f) kuasi-eksperimen. Berdasarkan sumber data, penelitian dapat dibedakan menjadi (a) penelitian lapangan dan (b) penelitian kepustakaan. Selain itu, penelitian dapat dibedakan menurut jenis data dan kepustakaan. Selain itu penelitian dapat dibedakan menurut jenis data dan proses penelitian menjadi (a) penelitian kuantitatif dan (b) penelitian kualitatif.

A. Metode penelitian eksploratif
Gejala keagamaan dapat diteliti secara eksploratif bila peneliti belum banyak mengetahui informasi tentang gejala-gejala keagamaaan tersebut. Bila disuatu tempat terjadi gejala keagamaan tertentu seperti fatwa yang menghalalkan berzina asal dimulai dengan membaca basmallahi, maka fenomena keagamaan tersebut dapat dieksplorasi, baik melalui telaah kepustakaan (seperti melalui Koran dan majalah) data lapangan, maupun gabungan antara keduannya.
Penelitian eksploratif dapat digunakan untuk mengamati gejala keagamaan yang sedang terjadi, atau gejala keagaman yang terjadi diasa lalu. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian eksploratif, dapat dikembangkan berbagai penelitian lain, seperti penelitian histories, deskriptif, kerelasional dan eksperimen. Karena itu, penelitian eksploratif sering disebut penelitian pendahuluan.

B. Metode penelitian sejarah
Bila gejala keagamaan terjadi dimasa lampau dan peneliti berminat mengetahuinya, maka peneliti dapat melakukan penelitian sejarah yakni melakukan rekonstruksi terhadap fenomena masa lampau baik gejala keagamaan yang terkait dengan masalah politik, sosial, ekonomi dan budaya. Bagaimana peran pesantren dan kiyai dalam melakukan perlawanan terhadap tentara belanda dalam agresi militer kedua (tahun 1984)?. Sejarah ini belum terlalu lama berlalu sehingga masih banyak saksi hidup. Karena itu, untuk merekonstruksinya, peneliti dapat melakukan wawancara mendalam dengan pelaku sejarah dan saksi hidup. Juga dapat melakukan telaah kepustakaan, seperti Koran, majalah, arsip, dokumen-dokumen pribadi dan lain sebagainya.

C. Metode Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif ialah sebuah penelitian yang bertujuan menggambarkan gejala sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam penelitian agama, penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala keagamaan.
Penelitian deskriptif berbeda dengan penelitian eksploratif, peelitian eksploratif belum memiliki variabel yang menjadi fokus pengamatan, karena peneliti belum banyak memperoleh informasi tentang gejala keagamaan tersebut. Sedangkan penelitian deskriptif sudah memiliki variabel yang menjadi fokus pengamatan. Dalam penelitian deskriptif variabel yang menjadi fokus pengamatan boleh lebih dari satu, sesuai minat peneliti.
Penelitian deskriptif dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, penelitian deskriptif dapat menggunakan data kepustakaan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis terhadap kepustakaan secara kuantitatif sering disebut analisis isi. Contohnya: penelitian deskriptif ini adalah: Ketaatan beragama buruh-buruh pabrik di serang Banten;, Pola kepemimpinan kiyai di tiga pesantren di Banten,; Etika kepemimpinan menurut ajaran ahlus sunnah wal jama’ah.

D. Metode Penelitian Korelasional
Penelitian korelasional ialah penelitian yang berusaha menghubungkan atau mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Karena itu, dalam penelitian korelasional dikenal adanya variabel bebas (variabel yang diduga mempengaruhi variabel lain) dan variabel terikat (variabel yang diduga dipengaruhi oleh variabel bebas).
Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dapat dibuktikan dengan data lapangan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) dan data hasil studi kepustakaan ,atau gabungan antara studi lapagnan dengan hasil studi kepustakaan. Contohnya: Hubungan pendidikan agama denga ketaatan beragama buruh pabrik di wilayah serang dan cilegon, Banten.

E. Metode Penelitian Eksperimen
Suatu fenomena dalam kehidupan sosial keagamaan seringkali terjadi bukan disebabkan oleh satu variabel melainkan akibat dari berbagai variabel secara simultan. Penelitian korelasional hanya menelaah salah satu atau beberapa variabel bagi terjadinya suatu fenomena sosial. Variabel-variabel itu dipilih berdasarkan telaahan logis atau berdasarkan teori tertentu. Penelitan tersebut akan membuktikan sejauh mana variabel yang dipilih memiliki hubungan dengan terjadinya suatu fenomena sosial keagamaan; atau sejauh mana variabel-variabel tersebut memberi pegnaruh bagi terjadinya fenomena keagamaan tertentu.

Pendekatan ilmiah dalam penelitian agama
A. Pendekatan ilmiah yang relevan
Dalam pembahasan dikemukakan bahwa penelitaian agama adalah penelitian tentang agama dalam arti ajaran, bilief (sistem kepercayaan) atau sebagai fenomena budaya; dan agama dalam arti keberagaman , perilaku beragama atau sebagai fenomena sosial. Karena itu, diperlukan teori ilmiah yang relevan untuk penelitian agama. Dalam perbahasan ini, teori-teori ilmiah itu digunakan sebagai pendekatan sekaligus sebagai model dalam penelitian agama. Teori ilmiah itu meliputi teologi (ilmu-ilmu keagamaan), sosiologi antropologi, psikologi, filologi, sejarah dan filsafat.
Pendekatan yang ilmiah yang relevan untuk penelitian agama digambarkan dalam skema pendekatan ilmiah penelitian sosial agama. Dalam prakteknya, sebuah penelitian agama dapat menggunakan satu pendekatan saja atau beberapa pendekatan, baik yang bersifat disipliner, interdisiplin, maupun multidisiplin.
B. Pendekatan teologis
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theos dan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah. Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink dianggap kurang cocok karena mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam. A. Hanafi mengartikan ilmu kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filafat atau dalil-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Dengan demikian teologi memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri.
Kalau kita membicarakan teologi sekurang-kurangnya dilihat dari tiga segi: teologi aktual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkat laku sehari-hari teologi intelektual yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.
Menurut darmaputera, teologi selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya, disepanjang masa bagi seluruh umat manusia dimana saja. Firman dan kehendak-Nya itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan serta kesejahteraan menusia bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendaknya itu berlaku bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Oleh karena itu siapa pun yang mendambakan kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan harus sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan firman serta kehendak Allah itu. Teologi bertolak dari keyakinan itu dan befungsi untuk mencari serta merumuskan kehendak Allah yang menyelamatkan, mensejahterakan, seta merupakan norma kebenaran itu. Dari mana manusia mampu merumuskan kehendak Allah dan bagaimana agar manusia mampu beraksi dalam menyelamatkan dan mensejahterakan diri dan sesamannya?
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak Tuhan itu dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu. Karena itu pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pendekatan normatif dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara umum metode teologis/normative dalam studi agama atau dalam rangka menemukan pemahaman pemikiran keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normatif idealistik.

C. Pendekatan sosiologis
Sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan kekuatan sosial adalah tepat. Jadi seseorang sosiolog agama bertugas menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok yang berpengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung dan tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat, dan sebagainya termasuk bidang penelitian sosiologi agama.
Penelitian agama seringkali tertarik untuk melihat, memaparkan, dan menjelaskan berbagai fenomena keagamaan. Juga kadang-kadang tertarik melihat dan menggambarkan pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain. Untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan dengan baik, peneliti dapat menggunakan pendekatan sosiologis yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis ialah: peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosioologi baik teori klasik mapun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagaman serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.
Sosiologi agama mempelajari aspek sosial agama. Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut keith A. Robert memfokuskan pada :
1) Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya.)
2) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi stasus keagamaan dan perilaku ritual.)
3) Konflik antar kelompok.
D. Pendekatan Antropologi
Sosiologi dalam sejarahnya digunakan untuk mengkaji masyarakat modern, sementara antropologi mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan tindakan dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang menunjuk pada apa yang dianggap suci dan supranatural. Sekarang terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan juga masyarakat yang komplek dan maju menganalisis simbolisme dalam agama dan mitos, serta mencoba mengembangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Yang menjadi penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi:
1) Pola-pola keberagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totenisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat industri yang mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme.
2) Agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan.
3) Pengalaman religius, yang meliputi meditasi, doa mistisisme, sufisme.

E. Pendekatan Psikologi
Psikologi agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama berupa pengalaman religius, seperti:
1) Ketika seseorang berada dalam puncak spiritual, seperti Mi’rajnya Nabi menghadap sang Kholiq, atau ketika seseorang Muslim khusyu’ dalam sholatnya, atau orang kristiani dalam doa dan nyanyian.
2) Ketika seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengarkan suara hati, ketika berkomunikasi dengan sang Kholiq, yang ilahi dan supranatural.
Psikologi agama mempelajari motif-motif tanggapan-tanggapan, reaksi-reaksi dari psike manusia, pengalaman dalam berkomunikasi dengan yang supranatural yang sangat mengasyikkan dan sangat dirindukan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa psikologi agama adalah cabang psikologi yang menyelidiki sebab-sebab dan ciri psikologis dari sikap-sikap religius atau pengalaman religius dan berbagai fenomena dalam individu yang muncul dari atau penyertai sikap dan pengalaman tersebut.
Psikologi agama sebagai cabang dari psikologi menyelidiki agama sebagai gejala kejiwaan. Penyelidikan agama sebagai gejala kejiwaan memiliki peran penting mengingat persoalan agama yang paling mendasar adalah persoalan kejiwaan. Manusia meyakini dan mau berserah diri kepada Tuhan, melakukan upacara keagamaan, berdoa, rela berkorban dan rela hidupnya dikendalikan oleh norma-norma agama adalah persoalan kejiwaan.

F. Pendekatan sejarah
Sejarah agama, secara ekstrem dapat dikatakan agama dan keberagamaan adalah produk sejarah. Al-qur’an sebagian besar berisi sejarah dan ilmu-ilmu keislaman. Peradaban islam berkembang sedemikian rupa dalam konteks sejarah. Karena itu tepat apabila dikatakan bahwa sejarah bagaikan mata air yang tidak akan pernah kering untuk diambil manfaatnya. Sejarah Islam merupakan bagian dari ilmu-ilmu keislaman yang amat penting diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan Islam.
Berikut beberapa fokus penelitian agama dengan menggunakan perdekatan sejarah:
1) Penelitian sejarah tentang tokoh berpengaruh dalam suatu agama atau gerakan keagamaan. Penelitian model ini besa berupa otobiografinya, pemikirannya, tindakan-tindakannya,, pergumulan hidupnya.
2) Penelitian sejarah mengenai naskah atau buku. Penelitian model ini menekankan pada substansi naskah atau buku untuk dianalisis, baik analisis kritis, perbandingan, maupun analisis sekedar eksplorasi.
3) Penelitian sejarah mengenai suatu konsep sepanjang sejarah penelitian model ini bisa berupa salah satu naskah, kitab suci atau perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu.
4) Penelitian arsip, yaitu penelitian tentang sejarah, baik individu, kelompok, organisasi, masyarakat maupun bangsa dengan melihat arsip-arsip resmi. Penelitian model ini banyak dilakukan oleh Snouk Hurgronye tentang aceh maupun Islam di Indonesia.


Penutup
Demikian rekonstruksi gejala sosial keagamaan dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sebaliknya, gejala sosial keagamaaan dapat dijelaskan dengan pendekatan sejarah.
Perlu juga disampaikan bahwa berbagai disiplin ilmu sosial-politik seperti politik, sosiologi, ekonomi, dan antropologi dapat melakukan penelitian dengan pendekatan sejarah. Artinya, mereka berusaha membuktikan teori (secara deduktif) atau menemukan teori (secara induktif) dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari sejarah.

Daftar Pustaka

Ali, Sayuthi, Drs.H.M. M.Ag, Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori Dan Praktek, Rajawali Pers, Jakarta.
Harahap, Syahrin,Dr.H.MA, Metodologi Studi Dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Rajawali Pers, Jakarta.
Nazir, Moh. Phd, Metode Penelitian, Galia Indonesia.
Suprayogo, Imam PROF. DR. dan Tobroni DRS. M.si, Methodologi Penelitian Sosial Agama, Rosda. Jakarta

Sekali Lagi...tentang Metodologi Studi Islam

Penelitian Corak Naturalistik-Fenomenologis dalam Fenomena Keislaman

Dalam meneliti fenomena keislaman, para peneliti menggunakan dua bentuk metodologi, yaitu penelitian kualitatif dan kuantitatif. Kedua metode ini masing-masing menampilkan keunggulan yang kompetitif. Misalnya penelitian kualitatif memandang penelitian kuantitatif itu kurang validitasnya, sementara penelitian kuantitatif mengeritik penelitian kualitatif tidak refresentatif, impressimistik, unrealible, dan subyektif.
Metode penelitian kualitatif dengan corak naturalistik-fenomenologis, jika dibandingkan dengan jenis pendekatan penelitian lainnya, sebetulnya adalah proses akhir dari sejarah perkembangan metodologi kualitatif, karena ia merupakan model yang telah menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna.
Penelitian dengan corak naturalistik-fenomenologis merupakan penelitian kualitatif yang secara terus menerus dikembangkan oleh para peneliti dan zaman ke zaman. Istilah ini pada mulanya bersumber dari pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu, sehingga pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Dalam hal ini, seorang pengamat mulai mencatat dan menghitung dengan menggunakan angka-angka. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti mengatakan bahwa penelitian kualitatif mencakup berbagai jenis penelitian yang didasarkan perhitungan persentase, rata-rata, dan perhitungan data statistik.
Dalam penelitian dengan corak ini dituntut agar penelitian itu disusun sementara karena akan diubah dan dikembangkan sesuai konteksnya, tergantung pada interaksi peneliti dengan konteksnya, semua itu sesuai dengan aksiomanya bahwa realitas itu ganda.  Ada dua hal pokok yang harus dipaparkan, yaitu permasalahan dan metodologi penelitian. Di dalam permasalahan, peneliti memaparkan latar belakang yang memperjelas mengapa hal tersebut hendak diteliti, kemudian diikuti dengan rumusan masalah. Pada permasalahn tersebut mengandung konsep-konsep yang dipertegas dengan batasan atau definisi operasionalnya yang disertai dengan variabel dari masing-masing konsep. Selanjutnya yang ingin dicapai dari masalah yang dijelaskan juga pernyataan formulasi jawaban sementara (hipotesis) dan cita-cita kemanfaatannya.
Arus penelitian naturalistik menuntut peneliti langsung terjun ke lapangan berdasarkan pada empat unsur sekaligus yang didata dan dikembangkan, yaitu: (1) menetapkan sampel secara purposive, (2) mengadakan analisis data secara kualitatif, (3) mengembangkan grounded theory secara induktif, dan (4) mengembangkan desain penelitian.
Pada waktu terjun ke lapangan, peneliti tidak membawa bentuk dan instrumen serta konsep tertentu. Di lapangan sambil mengamati sampelnya, menganalisis datanya, mencoba mencari alternatif grounded teorinya dan membuat desain penelitiannya, yang kesemuanya itu akan terus dapat berubah dan dikembangkan sesuai dengan konteks dan situasi tertentu.
Jika peneliti melihat ada sesuatu yang sangat urgen sifatnya, maka harus dicermatinya secara serius. Penelitian dengan corak naturalistik, peneliti harus melihat manusia sebagai instrumen riset. Olehnya itu, pada lapangan yang diteliti, metode yang dipraktekkan adalah simple karena sifatnya langsung meneliti subyek pendukung obyek penelitian. Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat dan sejarah dalam pengertian yang lebih luas.
Dengan mengacu kepada sistem kerja metode fenomenologi, maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan: Pertama, deskripsi yang bukan saja dari segi ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata upacara, simbolik, atau mistis. Kedua, deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga, deskripsi tentang perilaku keagamaan berupa: (1) deskripsi ontologis, yakni memusatkan perhatiannya pada obyek kegiatan keagamaan, seperti kesucian dan kegaiban dalam hubungannya dengan Tuhan; (2) deskripsi psikologis, yakni perhatian diletakkan pada kegiatan kegamaan itu sendiri; (3) deskripsi dialektik, yakni menperoleh perhatian dalam hubungannya antara subyek dan obyek dalam kegiatan keagamaan. Dalam hal ini, peneliti bisa menekankan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga menfokuskan diri pada peran simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam mengalami dunianya.
Penelitian dengan corak naturalistik-fenomenologis telah dilakukan oleh para orientalis, khusunya dengan pendekatan fenomenologis dalam studi keagamaan. Misalnya Rudolf Otto, Goldzicher, dan Snouck Hurgronje. Khusus dalam meneliti agama Islam, hal-hal yang diteliti, antara lain adalah naskah atau teks Alquran, hadis-hadis Nabi, karya-karya ulama, dan sikap keislaman masyarakat.
Dalam penelitian keislaman, tampaknya sejalan dengan metodologi penelitian fenomenologis yang menekankan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bebas nilai, tetapi mempunyai hubungan dengan nilai (value bond). Penelitian harus berdasar pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, nilai efisiensi, dan efektivitas. Untuk mendalami penelitian keislaman, hendaknya menggunakan pendekatan fenomenologis yang dimulai dengan model etnografik-etnometodologik yang dilengkapi dengan model pradigma naturalistik dan interaksi simbolik untuk memperluas wawasan. Dengan hasil penelitian bercorak naturalistik-fenomenologis, akan melahirkan eksentuasi yang diteliti untuk senantiasa kompromi.

Konsep Dasar Peneltian Keislaman

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan yang dapat diperoleh suatu penelitian, tergantung pada nilai guna bagi yang hendak memanfaatkan hasil penelitian itu. Dari hasil penelitian itu, seseorang dapat menggunakannya untuk: (1) mengembangkan kerangka dan konsep teoritis disiplin ilmu yang digunakan, (2) tujuan praktis, seperti pengambilan kebijakan atau keputusan guna penataan kehidupan masyarakat yang hendak dibina dan diatur, sesuai dengan yang dikehendaki.
Meneliti fenomena keislaman, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Fenomena keislaman itu sendiri adalah perwujudan sikap dan prilaku manusia menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan beralasan dari suatu kegaiban dalam Islam.
Penelitian dalam lapangan keislaman, pada awalnya memerlukan ketepatan cara pandang untuk menemukan posisi yang sesungguhnya dari obyek hidup keislaman itu dalam masyarakat dan kebudayaan yang hendak diteliti. Aspek-aspek keislaman itu mempunyai arti dan kedudukan lain pada fenomena kehidupan sosial budaya lainnya.
Menurut Mattulada, ilmu-ilmu agama pada segi-segi yang menyangkut masalah sosial, menjadi bagian yang dapat diteliti dan diamati dengan menggunakan piranti atau metodologi ilmiah. Kalau segi-segi yang diamati itu berada pada posisi fenomena sosial, maka metode pengkajian yang digunakan adalah metode-metode ilmu-ilmu sosial. Bagi A. Mukti Ali, cara pengumpulan gejala-gejala keagamaan mirip dengan pengumpulan data-data dalam sosiologi. Meski demikian, pengumpulan datanya bukanlah sosiologi melulu, sebab umat bergama menafsirkan gejala-gejala dalam masyarakat itu menurut cahaya ajaran agamanya. Ini berarti, penelitian agama tidak bisa berdasarkan sosiologi melulu, tetapi juga berdasarkan ajaran-ajaran agama yang mendorong lahirnya gejala-gejala itu. Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa fenomena agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karenanya, tidak ada persoalan, apakah penelitian keagamaan itu termasuk dalam penelitian ilmu sosial, penelitian budaya, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.
Islam sebagai sasaran penelitian budaya, tidak berarti bahwa Islam yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian budaya. Sebagai contoh adalah penelitian Hasan Muarif Ambary tentang studi arkeologi di Samudra Pasai dan Brunei Darussalam yang dapat menggambarkan keberadaan kedua kerajaan Islam tersebut. Proses penelitian yang dilakukan Ambary adalah meneliti makam raja-raja Muslim yang ada di kedua wilayah itu. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kedua kerajaan itu memiliki kontak budaya dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Mataram dan China.
Islam sebagai sasaran penelitian sosial, tidak terlepas dari kajian sosiologi agama. Salah satu metode penelitian sosial yang digunakan dalam penelitian agama adalah grounded research, yaitu suatu metodologi penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik, dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Sebagai contoh adalah konflik dan integrasi yang terjadi dalam masyarakat Bugis Amparita. Penelitian ini menelusuri tiga kelompok keagamaan, yaitu orang-orang Islam, orang-orang Towani Tolotang, dan orang-orang Tolotang Benteng di Amparita, Sulawesi Selatan. Dalam berinteraksi satu sama lain, terkadang dalam bentuk konflik, terkadang dalam bentuk kerja sama, dan terkadang pula dalam bentuk integrasi.
Pada penelitian keislaman sebagai gejala sosial, masalah sedikit lebih kompleks dan diperlukan sistematika, ketimbang pada saat meneliti Islam sebagai gejala budaya. Dikatakan demikian, sebab penelitian ilmu sosial berupaya meletakkan dirinya mendekati penelitian kealaman, atau sekurang-kurangnya terletak antara penelitian budaya dan penelitian kealaman. Dengan demikian, desain penelitian agama sebagai gejala sosial, akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati, sebelum sampai kepada kesimpulan.
Sebagai contoh adalah penelitian tentang Pandangan Ulama terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi IUD dalam Program Keluarga Berencana. Signifikansi penelitian ini adalah memberi pengertian kepada umat Islam mengenai pandangan ulama tentang KB, terutama dalam penggunaan alat kontrasepsi IUD (spiral).
Untuk meneliti masalah di atas, ada empat hal yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: Pertama, merumuskan masalahnya, termasuk operasionalisasi konsep dari masalah yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga, cara melakukan pengumpulan dan analisis data. Keempat, studi pustaka, yang berguna untuk mengetahui studi apa saja yang pernah dilakukan yang berbicara menegenai pandangan ulama tentang KB.
Antara IUD dengan alat kontrasepsi lain, seperti kondom dan pil (obat yang diminum), tentu memiliki status hukum yang berbeda. Kedua alat kontrasepsi yang disebutkan terakhir, tidak terkait persoalan aurat. Berbeda dengan IUD, dalam pemasangannya, harus berhadapan dengan ketentuan hukum mengenai “larangan melihat aurat wanita”. Di sinilah dilihat kemampuan peneliti dalam memilih responden dan menganalisis dua masalah yang saling bertentangan, yaitu larangan melihat aurat wanita dan kebolehan memasang IUD bagi pserta KB wanita.

Islam Sebagai Obyek Penelitian

Selama ini masyarakat sudah mengenal Islam, tetapi belum jelas potret Islam yang telah dikenal tersebut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan oleh Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan oleh Fazlur Rahman yang bernuansa historis dan filosofis. Demikian pula, Islam yang ditampilkan oleh pemikir-pemikir dari Iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Husain Nasr, dan Murthadha Muthahhari.
Kenyataan tersebut memperlihatkan adanya dinamika internal di kalangan umat Islam untuk menerjemahkan Islam dalam upaya merespon berbagai masalah umat yang mendesak. Titik tolak dan tujuan mereka sama, yakni ingin menunjukkan konstribusi Islam sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan berbagai masalah umat. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang dapat dilihat dari sisi mana saja, dan setiap sisinya akan senantiasa memancarkan cahaya yang terang.
Dari berbagai sumber kepustakaan tentang Islam yang ditulis oleh para tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang teologi, ibadah, muamalah yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, kesehatan, dan sejarah.
Menurut Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, obyek yang dikaji dalam dunia Islam, bila dilihat pada tataran keberagaman, Islam dapat diwujudkan pada lima dimensi, yaitu dimensi idiologis, dimensi intelektual, dimensi eksperiansial, dimensi ritualistik dan dimensi konsekuensial.
Pada dimensi indiologis, Islam merupakan konsep keprcayaan terhadap Tuhan dalam hubungan-Nya dengan manusia dan alam. Pada dimensi ini, Islam tampak sebuah konsep yang sarat dengan berbagai aturan. Pada dimensi intelektual, Islam tampak pada sebuah konsep pemikiran keagamaan yang lahir dari kultur yang diakibatkan oleh dinamika pemikiran umat Islam. Pada dimensi eksperensial, Islam dapat dilihat keterlibatan emosional dan sentimentil oleh para pengikutnya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pada dimensi ritualistik, Islam tampak pada pelaksanaan ibadah ritual-formal pemeluknya. Sedangkan pada dimensi yang terakhir, Islam tampak sebagai suatu konsep yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial bagi pengikutnya.
Berdasarkan dengan dimensi-dimensi tersebut, maka dalam penelitian ke-Islaman, tidak cukup jika hanya menggunakan satu metode, karena Islam bukan agama yang mono-dimensi. Islam bukan hanya didasari pada intuisi mistik dari manusia, melainkan Islam adalah agama yang universal, yakni segala aspek kehidupan di dunia terakomodir dalam Islam.
Penelitian ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari berbagai aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam normatif dimaksudkan adalah penelaahan lebih jauh ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi pada lahirnya aturan-aturan normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek normatif adalah pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar perkembangan masyarakat muslim semakin maju. Sementara pengkajian non-normatif adalah pengkajian terhadap aspek antropologis, sosiologis, dan historis umat Islam itu sendiri.
Dampak langsung dari gairah atau kesadaran penelitian ke-Islaman adalah penyegaran khazanah intelektualitas dalam Islam dengan pengkajian yang sistematis dan struktur yang berampak pada pencerahan terhadap iklim sportivitas ilmiah dalam Islam. Hal ini berdampak langsung kepada gairah umat Islam untuk kembali mengkaji Alquran dan Hadis Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Dalam keadaan demikian, Alquran dan Hadis Nabi tidak hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-mabawiyah, tapi dapat dijadikan sebagai sumber teori.
Penelitian terhadap Alquran bukan mempertanyakan kebenaran Alquran sebagai wahyu, tetapi mengkaji Alquran akan melahirkan sejumlah bidang. Kajian itu meliputi proses turunnya Alquran, termasuk faktor sosiologis dan kultural masyarakat pada saat Alquran diturunkan. Kajian ini melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, dan sejarah.
Demikian halnya dengan penelitian terhadap Hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang tersebar dalam berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap sanad dan matan-nya untuk membuktikan bahwa riwayat itu betul-betul berasal dari nabi. Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi.

Minggu, 03 April 2011

MENTORING

Oleh : Muh. Ikhsan AR.
Banyak sekali definisi dari mentoring , terutama sejak populernya coaching
untuk individu dan profesional. Pada dasarnya, mentoring digambarkan
sebagai aktifitas yang dilakukan seseorang (mentor) untuk orang lain
(mentee) dalam rangka membantu orang tersebut melakukan pekerjaannya
lebih efektif dan/atau untuk kemajuan dalam karirnya. Sang Mentor bisa saja
seseorang yang "tadinya" melakukan pekerjaan tersebut. Mentor mungkin
bisa menggunakan berbagai pendekatan, misalnya coaching, training, diskusi,
konseling, dan sebagainya.
Mentoring adalah suatu alat yang digunakan organisasi untuk memelihara
dan mengembangkan karyawannya. Hal ini bisa berupa latihan praktis dan
program formal. Para mentee mengamati, bertanya, dan mempelajari (explore)
; sementara mentor mendemonstrasikan, menerangkan, dan mencontohkan.
Asumsi berikut ini membentuk dasar bagi suatu program mentoring yang
solid.

Proses belajar yang terprogram. Tugas mentor adalah untuk
meningkatkan proses belajar yang disengaja (intentional learning),
termasuk membangun kapasitas melalui metode seperti instruksi,
coaching, memberikan pengalaman, modelling dan memberi saran.

Kegagalan dan kesuksesan adalah guru yang tangguh. Mentor,
sebagai pemimpin dari suatu proses belajar, tentu perlu untuk
membagi cerita "bagaimana cara saya melakukannya sehingga
berhasil". Mereka juga perlu untuk membagi pengalaman mereka
tentang kegagalan, misalnya, " bagaimana saya melakukan kesalahan
itu ". Kedua pengalaman ini adalah pelajaran yang kuat yang
memberikan kesempatan yang berharga untuk menganalisa realitas
individu dan organisasi.

Pemimpin perlu menceritakan pengalaman mereka. Pengalaman
pribadi, anekdot, dan contoh kasus, harus diceritakan karena hal-hal
tersebut menawarkan hikmah yang bernilai dan seringkali tak
terlupakan. Mentor yang bisa bicara tentang diri mereka sendiri dan
tentang pengalaman mereka akan membentuk suatu rapport yang
menjadikan mereka "learning leaders".

Proses pengembangan akan matang sejalan dengan waktu.
Mentoring – jika berhasil - akan menjadi proses belajar yang
berkelanjutan yang bukan merupakan suatu event (yang jarang) saja.
Hal ini akan menjadi event, pengalaman, observasi, pelajaran, dan
analisa yang berlangsung terus menerus.

Mentoring adalah sebuah kerjasama. Mentoring yang sukses berarti
membagi tanggung jawab untuk belajar, tanpa memperhitungkan
fasilitas, materi, waktu, dan semua variable yang ada. Mentoring yang
sukses dimulai dengan menentukan kontrak untuk proses belajar,
dimana mentor, mentee, dan manajer lini yang terkait ikut terlibat.
Karakteristik seorang mentor yang baik
Semua pebisnis sukses tidak selalu menjadi mentor yang efektif. Individu
tertentu lebih efektif dalam perannya mengembangkan orang lain. Apakah
seseorang cocok untuk peran seorang mentor akan tergantung dari tahap
perkembangan diri dan pengalamannya. Contohnya, seorang individu yang
cukup sukses mungkin memiliki latar belakang yang spesifik atau terbatas
dan mungkin tidak memiliki pengalaman general yang cukup untuk
ditawarkan.
Kualitas yang penting dari seorang mentor yang efektif meliputi :
1. Keinginan untuk menolong – Seseorang yang tertarik dan mau
menolong orang lain.
2. Memiliki pengalaman yang positif – Seseorang yang memiliki
pengalaman formal dan informal yang positif dengan seorang mentor
cenderung untuk menjadi mentor yang baik pula.
3. Reputasi yang baik untuk mengembangkan orang lain – Orang yang
berpengalaman yang memiliki reputasi yang baik dalam menolong
orang lain akan mengembangkan keterampilan mereka.
4. Waktu dan energi – Orang yang memiliki waktu dan energi mental
untuk diabdikan dalam hubungan tersebut.
5. Pengetahuan yang up-to-date – Orang yang selalu me-maintain
pengetahuan dan keterampilan teknologi yang up-to-date dan terkini.
6. Sikap belajar – Seseorang yang masih mau dan mampu untuk belajar
dan yang melihat keuntungan potensial dari suatu hubungan
mentoring.
7. Memperlihatkan keterampilan manajerial (mentoring) yang efektif –
Seseorang yang telah memperlihatkan keterampilan coaching,
konseling, facilitating, dan networking yang efektif.
Karakteristik seorang mentee

1. Konsisten untuk terus memperluas kemampuannya

2. Terbuka dan menerima cara baru dalam proses belajar dan
mau mencoba ide baru

3. Mampu menerima umpan balik (feedback) dan melakukan
perbaikan terhadap hal tersebut

4. Kemauan untuk menerapkan yang telah dipelajari ke dalam
pekerjaannya

5. Fokus terhadap pencapaian hasil bisnis yang diinginkan

6. Mampu untuk berkomunikasi dan bekerja secara kooperatif
dengan orang lain

7. Tahu kapan saat untuk meminta pertolongan

8. Memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen pribadi

9. Mau untuk melakukan pertemuan (meeting) secara teratur
(Disarikan dari artikel tentang Mentoring di www.managementhelp.org